2.1 Psikologis Bencana
Bencana
adalah peristiwa atau kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan kerusakan
ekologi, kerugian kehidupan manusia, serta memburuknya kesehatan dan pelayanan
kesehatan yang bermakna sehingga memerlukan bantuan luar biasa dari pihak luar (Khambali & ST, 2017).
Menurut Kharismawan (2008) Tidak semua orang akan mengalami gejala dan dampak psikologis
yang sama pada saat menghadapi bencana.
Pada
bencana aspek kesehatan jiwa merupakan aspek yang penting karena pada saat
bencana terjadi perubahan situasi dari situasi normal ke situasi tidak normal
dimana seseorang akan mengalami kehilangan yang berdampak pada terganggunya
keseimbangan kondisi psikologis para korban bencana sangat terguncang yang
dapat mengakibatkan stress dan depresi (Kemenkes RI, 2014).
2.1.1
Faktor
yang Mempengaruhi Kerentanan Psikologis
Menurut Kharismawan (2008) beberapa faktor dapat meningkatkan ataupun
menurunkan risiko :
1)
Tingkat keparahan.
Semakin parah bencana yang terjadi, maka semakin buruk kemungkinan dampaknya. Pada kasus
kamp-kamp konsentrasi Nazi, genosida Rwanda, Killing Fields di Kamboja, hampir semua orang yang mengalami
peristiwa traumatis menderita akibatnya untuk waktu yang sangat panjang.
2)
Jenis bencana.
Bencana
yang terjadi karena manusia akan berdampak lebih parah daripada bencana karena
alam. Perang, Terorisme dan kerusuhan sosial berdampak lebih merusak secara psikologis
daripada Gempa, Tsunami ataupun Banjir. Bencana karena manusia yang disengaja
(pembakaran toko, pemerkosaan), akan
lebih merusak daripada yang tidak disengaja (kecelakaan kerja, robohnya
bangunan). Dua orang pemiliki toko yang tokonya sama sama terbakar saat
kerusuhan di Solo 14 Mei 2008, menunjukkan reaksi yang berbeda. Pemilik toko
yang tokonya dibakar langsung dalam amuk massa, menunjukkan gejala ptsd yang
lebih kuat daripada pemilik toko yang tokonya terbakar dalam kerusuhan tersebut
namun secara tidak langsung (karena angin yang bertiup kencang, membawa api
dari rumah ke rumah)
3)
Jenis kelamin dan usia.
Wanita (terutama ibu-ibu
yang memiliki anak balita), anak usia lima sampai sepuluh, dan orang-orang tua lebih rentan daripada yang lain. Orang dengan
daya tahan fisik yang lebih lemah, akan mengintepretasikan suatu ancaman lebih
besar/mengerikan daripada seseorang dengan daya tahan tubuh yang lebih kuat.
Sebaliknya pada bayi dan anak-anak
dibawah 2 tahun, meski secara fisik mereka masih lemah, namun kondisi
psikologis mereka sangat ditentukan oleh orang tua atau orang dewasa yang ada
di dekat mereka karena kemampuan kognitif mereka dalam mengenali bahaya masih
terbatas. Jika orang dewasa disekitar mereka bersikap tenang, maka merek juga
akan relatif tenang.
4)
Kepribadian.
Orang-orang
dengan kepribadian yang matang, konsep diri yang positip dan reseliensi yang
bagus akan lebih mampu daripada yang tidak memiliki. Orang-orang yang tumbuh
dengan tidak percaya diri, ketika menghadapi bencana juga akan mempersepsi
tentang kekuatan dirinya maupun masa depannya secara negatif dan pesimis.
5)
Ketersediaan jaringan dan dukungan sosial
Keberadaan
keluarga yang
mendukung, teman-teman, dan masyarakat akan mampu mengurangi
kemungkinan efek samping jangka panjang. Masyarakat yang masih erat, dan saling peduli akan lebih mampu mengatasi
masa-masa sulit daripada masyarakat perkotaan yang individualis. Kunjungan dan
sapaan terhadap penyintas, akan mempercepat pemulihan mereka. Pada faktor ini,
tradisi kenduri 7 hari, 30 hari atau 100
hari paska kematian pada masyarakat Muslim di Jawa ataupun kebaktian
penghiburan pada orang Nasrani, memiliki peranan yang besar dalam pemulihan.
Penyintas yang kehilangan anggota keluarganya mendapatkan dukungan sosial
dengan kehadiran saudara dan sahabat mereka.
6)
Pengalaman sebelumnya.
Mereka yang telah berhasil mengatasi dengan trauma di masa lalu, akan lebih
dapat mengatasi bencana berikutnya dengan lebih baik
2.2 Respon Psikologis saat Bencana
Respon
berasal dari kata respons yang
berarti tanggapan (reaction) atau
balasan. Respon merupakan istilah psikologis yang digunakan untuk menyebutkan
reaksi terhadap rangsang yang diterima oleh panca indera (Sobur, 2003).
Respon
psikologis merupakan tanggapan, tingkah laku atau sikap terhadap
rangsangan/masalah tertentu yang berkaitan dengan keadaan jiwa individu (Sobur, 2003).
Kondisi
psikologis saat bencana merupakan suatu kondisi terjadinya integritas
psikologis secara mendadak dalam suatu lingkungan yang tidak dapat
dikendalikan. Beberapa kondisi yang biasanya menyertai bencana antara lain
adalah kematian, kerusakan dan kehilangan harta benda, serta perpisahan dengan
orang yang dicintai. Proses yang terjadi adalah proses kehilangan akibat
bencana. (Kemenkes RI, 2014)
2.2.1 Konsep Kehilangan
Kehilangan adalah
situasi aktual atau potensial ketika sesuatu (orang atau objek) yang dihargai
telah berubah, tidak ada lagi, atau menghilang (Mubarak, 2007). Kehilangan adalah suatu keadaan berpisahnya
individu dengan sesuatu yang sebelumnya dimilikin atau ada (Dalami, 2009).
Proses kehilangan yang
dialami bervariasi lama waktunya. Setiap individu dapat ditemukan berada di
setiap fase. Pendekatan yang dilakukan dalam memberikan bantuan psikologis
disesuaikan pada fase yang dialami. Tujuannya dari bantuan yang diberikan
adalah supaya individu dapat melalui setiap fase dengan baik untuk dapat sampai
pada fase menerima (Kemenkes RI, 2014).
Saat kehilangan terjadi
pada masa kanak-kanak maka akan mengacam kemampuan anak untuk berkembang dan
kadang kala menimbulkan kemunduran (regresi)
1)
Fase Kehilangan
a)
Fase
Pengingkaran (Denial)
Reaksi pertama
individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak percaya atau mengingkari
kenyataan bahwa kehidupan itu memang benar terjadi, dengan mengatakan “tidak”,
saya tidak percaya itu terjadi atau itu tidak mungkin terjadi (Prabowo, 2014).
Peran Perawat
pada fase pengingkaran
(1)
Memberi
kesempatan pada penyintas untuk mengungkapkan perasaannya dengan cara ;
(a)
Mendorong
penyintas untuk mengungkapkan persaan berdukanya.
(b)
Meningkatkan
kesabaran penyintas secara bertahap tentang kenyataan dan kehilangan apabila
sudah siap secara emosional.
(c)
Menunjukkan
sikap menerima dengan ikhlas dan mendorong penyintas untuk berbagi rasa dengan
cara :
(2)
Mendengarkan
dengan penuh perhatian dan minat apa yang dikatakan oleh penyintas tanpa
menghukum atau menghakimi.
(3)
Menjelaskan
kepada penyintas bahwa sikap tersebut dapat terjadi pada orang yang mengalami
kehilangan.
(4)
Memberikan
jawaban yang jujur terhadap pertanyaan penyintas tentang sakit, pengobatan dan
kematian dengan cara
(a)
Menjawab
pertanyaan penyintas dengan bahasa yang sudah dimengerti, jelas dan tidak
berbelit-belit.
(b)
Mengamati dengan
cermat respon penyintas selama berbicara.
(c)
Meningkatkan
kesadaran secara bertahab.
b)
Fase marah
(Angry)
Fase ini dimulai
dengan timbulnya suatu kesadaran akan kenyataan terjadinya kehilangan individu
menunjukan rasa marah yang meningkat yang sering diproyeksikan kepada orang
lain atau pada dirinya sendiri (Prabowo, 2014).
“Kenapa saya?
Ini tidak adil, siapa yang harus disalahkan”
Tindakan
keperawatan :
(1)
Mengizinkan dan
mendorong penyintas untuk mengungkapkan rasa marah secara verbal tanpa melawan
dengan kemarahan
(2)
Menjelaskan
kepada keluarga bahwa kemarahan penyintas sebenarnya tidak ditujukan kepada
mereka.
(3)
Menizinkan
penyintas untuk menangis
(4)
Mendorong
penyintas untuk membicarakan rasa marahnya.
(5)
Membantu
penyintas menguatkan system pendukung dengan orang lain.
c)
Tawar-menawar
(Bargaining)
Individu telah
mampu mengungkapkan rasa marahnya secara intensif, maka ia akan maju ke fase
tawar menawar dengan memohon kemurahan kepada tuhan (Prabowo, 2014).
“Saya
akan lakukan apapun agar dapat bertahan beberapa tahun lagi”
Peran perawat
yaitu membantu penyintas dalam mengungkapkan rasa bersalah dan takut dengan
cara;
(1)
Mendengar
ungkapan dengan penuh perhatian
(2)
Mendorong
penyintas untuk membicarakan takut atau rasa bersalahnya.
(3)
Bila penyintas
selalu mengungkapkan “ kata…” atau “ seandainya….” Beritahu penyintas bahwa ia
hanya dapat melakukan sesuatu yang nyata.
(4)
Membahas bersama
penyintas mengenai penyebab rasa bersalah atau rasa takutnya.
d)
Fase depresi/berduka
Pada fase ini
individu sering menunjukan sikap menarik diri, kadang sebagai penyintas sangat
penurut, tidak mau bicara, manyatakan keputusan, perasaan tidak berharga, dan
sebagainya (Prabowo, 2014).
“apa gunanya lagi, saya tidak punya apa-apa
lagi”
Tindakan
keperawatan
a)
Membantu
penyintas mengidentifikasi rasa berduka dan takut dengan cara;
(a)
Mengamati
perilaku penyintas dan bersalah dengannya membahas perasaannya.
(b)
Mencegah
tindakan bunuh diri atau merusak diri sesuai derajat resikonya.
b)
Membantu penyintas
mengurangi rasa berduka dengan cara:
(a)
Menghargai
perasaan penyintas
(b)
Membantu
penyintas menemukan dukungan yang positif dengan mengaitkan terhadap kenyataan.
(c)
Bersama
penyintas membahas pikiran yang selalu timbul.
e)
Fase penerimaan
Fase ini
berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran yang yang selalu berpusat
kepada obyek atau orang yang hilang akan mulai berkurang sampai hilang (Prabowo, 2014).
“Semua akan
baik-baik saja. Saya tidak dapat melawan ini, lebih baik saya bersiap diri
untuk menghadapinya”
Tindakan
keperawatan:
Membantu
penyintas menerima kehilangan yang tidak bisa dielakkan dengan cara:
(1)
Membantu
keluarga mengunjungi penyintas secara teratur
(2)
Membantu
keluarga berbagi rasa, karena setiap anggota keluarga tidak berada pada tahap
yang sama pada saat yang bersamaan.
(3)
Membahas rencana
setelah masa berkabung terlewati
(4)
Memberi
informasi akurat tentang kebutuhan penyintas dan keluarganya.
2.2.2
Mekanisme Reaksi Psikologis Bencana
Segera setelah
terjadinya bencana individu atau masyarakat pada area yang terkena akan
mengalami trauma dan berada pada situasi krisis akibat perubahan yang terjadi
secara tiba-tiba dalam kehidupan. Perubahan ini dapat menyebabkan penderitaan
dan kesengsaraan bagi individu maupun masyarakat yang terkena.
Shock dan
penyangkalan merupakan respons yang khas dan normal untuk peristiwa traumatis
dan bencana. Shock adalah gangguan tiba-tiba dan intens yang membuat korban
terpana atau bingung. Penolakan dalam bentuk tidak mengakui bahwa sesuatu yang
menegangkan telah terjadi. Setelah melalui masa keterkejutan awal, reaksi
bervariasi dari satu orang ke orang lain. Perilaku yang diperlihatkan individu
yang mengalami bencana sangat bervariasi.
Reaksi ini
tampak hampir pada setiap orang di daerah bencana dan ini dipentingkan sebagai
reaksi alamiah pada situasi abnormal.
Factor
keseimbangan yang mempengaruhi respon individu terhadap krisis adalah persepsi
terhadap kejadian, system pendukung yang dimiliki dan mekanisme koping yang
digunakan (Kemenkes RI, 2014).
2.2.3
Dampak
Psikologis Bencana pada Individu
Dalam bencana tidak ada patokan yang kaku tentang tahapan dalam merespon bencana, ada banyak variasi pada setiap tahap dan tahap tumpang tindih. Oleh
karena itu munculnya gejala gangguan psikologis
dapat bervariasi, tergantung banyak factor, namun bisa mencapai 90%tau bahkan
lebih. Penyintas akan menunjukkan setidaknya beberapa gejala psikologis yang
negatif setelah beberapa jam paska bencana . Pada bencana social, misalnya konflik, dua belas minggu
paska bencana, 20-50 persen atau bahkan lebih masih dapat menunjukkan
tanda-tanda signifikan dari gangguan tersebut. Jika tidak diatasi dan
diselesaikan dengan tepat dan cepat, reaksi tersebut dapat menjadi gangguan
psikologis yang serius (Kharismawan, 2008).
1)
Reaksi Segera
Menurut Kharismawan (2008) Tahap
ini adalah masa beberapa jam setelah bencana. Pada tahap ini kegiatan
bantuan sebagian besar difokuskan pada menyelamatkan penyintas dan berusaha
untuk menstabilkan
situasi. Penyintas harus ditempatkan pada lokasi yang aman dan terlindung,
pakaian yang pantas, bantuan dan perhatian medis, serta makanan dan air yang cukup. Selama tahap
penyelamatan, berbagai jenis respon emosional bisa dilihat. Penyintas mungkin
mengalami perubahan dari satu jenis respon terhadap lain atau mungkin tidak
menunjukkan sikap yang "biasa". Pada fase ini kadang penyintas
mengalami numbing, atau suatu kondisi
mati rasa secara psikis.
Beberapa reaksi yang mungkin timbul segera dalam 24 jam pasca
bencana
a) tegang,
cemas dan panik;
b) kaget,
linglung, syok, tidak percaya;
c) gelisah,
bingung;
d) agitasi,
menangis, menarik diri;
e) rasa
bersalah pada korban yang selamat.
Reaksi ini tampak
hampir pada setiap orang di daerah bencana dan ini dipertimbangkan sebagai
reaksi alamiah pada situasi abnormal, tidak
membutuhkan intervensi psikologis khusus.
(Kementerian Kesehatan, 2011)
2) Reaksi dalam hari sampai minggu
Reaksi
terjadi dalam hari sampai minggu setelah bencana;
a) Ketakutan,
waspada, siaga berlebihan;
b) Mudah
tersinggung, marah, tidak bisa tidur;
c) Khawatir,
sangat sedih;
d) Flashbacks
berulang (ingatan terhadap peristiwa yang selalu datang berulang dalam
pikiran);
e) Menangis,
rasa bersalah;
f) Kesedihan;
g) Reaksi
positif termasuk pikiran terhadap masa depan;
h) Menerima
bencana sebagai suatu takdir.
Semua itu adalah reaksi
alamiah Dan hanya membutuhkan
intervensi psikososial.
(Kementerian Kesehatan, 2011)
3)
Minggu Ketiga
Menurut Kharismawan (2008) setelah situasi telah stabil, perhatian beralih ke solusi jangka
panjang. Disisi lain, euforia bantuan mulai menurun, sebagian sukarelawan sudah
tidak datang lagi dan bantuan dari luar secara bertahap berkurang. Para
penyintas mulai menghadapi realitas. Jika pada minggu-minggu pertama setelah
bencana, penyintas mungkin akan melalui fase "bulan madu", ditandai
dengan perasaan yg aman dan optimisme tentang masa depan. Tetapi dalam tahap
pemulihan, mereka harus membuat penilaian yang lebih realistis tentang hidup
mereka. Pada fase ini kekecewaan dan
kemarahan sering menjadi gejala dominan yang
sangat terasa.
Reaksi
yang sebelumnya ada dapat menetap dengan gejala seperti:
a) gelisah;
b) perasaan
panik;
c) kesedihan
yang mendalam dan berlanjut, pikiran pesimistik yang tidak realistik;
d) tidak
melakukan aktivitas keluar, isolasi, perilaku menarik diri;
e) ansietas
atau kecemasan dengan manifestasi gejala fiisk seperti palpitasi, pusing, mual,
lelah, sakit kepala.
Reaksi ini tidak perlu diperhitungkan
sebagai gangguan jiwa. Gejala ini dapat diatasi oleh tokoh masyarakat yang
telah dilatih agar mampu memberikan intervensi psikologik dasar.
(Kementerian Kesehatan, 2011)
4)
Gejala Pasca Trauma
Menurut Kharismawan (2008) pada tahap akhir pada tiga minggu atau lebih setelah bencana
berbagai gejala pasca-trauma muncul, misalnya Pasca Trauma Stress Disorder,
Disorder Kecemasan Generalized, Abnormal Dukacita, dan Post Traumatic Depresi.
a)
Akut Stress Paska Trauma. Gejala-gejala dibawah
ini adalah normal, sebagai reaksi atas kejadian yang tidak normal (traumatik).
Biasanya gejala-gejala diawah ini akan menghilang seiring dengan berjalannya
waktu.
(1) Emosi. Mudah menangis ataupun kebalikkannya yakni mudah marah,
emosinya labil, mati rasa dan kehilangan minat untuk melakukan aktivitas,
gelisah, perasaan ketidakefektifan, malu dan putus asa.
(2) Pikiran. Mimpi buruk, mengalami halusinasi ataupun disasosiasi,
mudah curiga (pada penyintas kasus bencana karena manusia), sulit konsentrasi,
menghindari pikiran tentang bencana dan menghindari tempat, gambar, suara
mengingatkan penyintas bencana; menghindari pembicaraan tentang hal itu
(3) Tubuh. Sakit kepala, perubahan siklus mensruasi, sakit punggung,
sariawan atau sakit magh yang terus menerus sakit kepala, berkeringat dan
menggigil, tremor, kelelahan, rambut rontok, perubahan pada siklus haid,
hilangnya gairah seksual, perubahan pendengaran atau penglihatan, nyeri otot
(4) Perilaku. Menarik diri, sulit tidur, putus asa, ketergantungan, perilaku lekat
yang berlebihan atau penarikan social,
sikap permusuhan, kemarahan,
merusak diri sendiri, perilaku
impulsif dan mencoba bunuh diri
b)
Post Trauma Stress Disorder
(PTSD), meliputi:
Jika setelah lebih dari
dua bulan gejala gejala di atas (ASPT) masih ada maka, maka dapat diduga
mengalami PTSD, jika memunjukkan gejala ini selepas 2 bulan dari kejadian
bencana:
(1)
Reecperience atau mengalami
kembali. Penyintas sekan mengalami kembali peristiwa traumatic yang mengganggu;
misalnya melalui mimpi buruk setiap
tidur, merasa mendengar, melihat kembali
kejadian yang berhubungan dengan bencana, dalam pikirannya kejadian bencana
terus menerus sangat hidup, apapun yang dilakukan tidak mampu mengalihkan
pikirannya dari bencana. Pada anak-anak
korhan konflik senjata, mereka bermain
perang-perangan berulang-ulang.
(2)
Avoidance, atau menghindar
hal-hal yang berkaitan dengan ingatan akan bencana, misalnya menghindari
pikiran atau perasaan atau percakapan tentang bencana; menghindari aktivitas,
tempat, atau orang yang mengingatkan penyintas dari trauma, ketidakmampuan
untuk mengingat bagian penting dari bencana, termenung terus dengan tatapan dan
pikiran yang kosong
(3)
Hyperarusal, atau rangsangan yang berlebihan. Misalnya
kesulitan tidur; sangat mudah marah atau kesulitan berkonsentrasi; jantung
mudah berdebar-debar, keringat dingin,
panik dan nafas terengah-engah saat teringat kejadian, kesulitan konsentrasi
dan mudah terkejut.
c)
Generalized Anxiety
Disorder: meliputi:
Kecemasan yang
berlebihan dan khawatir tentang berbagai peristiwa ataupun kegiatan (tidak
terbatas bencana). Cemas berlebihan saat air tidak mengalir, seseorang tidak
muncul tepat waktu
d)
Dukacita Eksrim: Biasanya,
setelah kematian orang yang dicintai. Seringkali respon pertama adalah
penyangkalan. Kemudian, mati rasa dan kadang kemarahan.
5)
Kasus yang Perlu Dirujuk
Menurut (Kemenkes RI, 2014) kriteria kasus
yang perlu dirujuk :
(a)
Kasus-kasus ganguan mental yang telah
diketahui sebelumnya
(b)
Korban dengan gejala-gejala psikologis
tidak memperlihatkan perubahan setelah 3 minggu
dilakukan tindakan oleh perawat
(c)
Korban yang mengalami disfungsi
(d)
Korban yang berniat bunuh diri
(e)
Penyalahgunaan alkohol obat-obatan
(f)
Kekerasan fisik dalam keluarga
(g)
Kelompok resiko tinggi
2.2.4
Dampak
Psikologis Bencana pada Komunitas
Bencana tidak hanya
berdampak pada pribadi tapi juga pada komunitas. Paska bencana dapat saja tercipta masyarakat yang
mudah meminta (padahal sebelumnya adalah pekerja yang tangguh), masyarakat yang
saling curiga (padahal sebelumnya saling peduli), masyarakat yang mudah
melakukan kekerasan (padahal sebelumnya cinta damai). Bencana yang tidak
ditangani dengan baik akan mampu merusak nilai-nilai luhur yang sudah dimiliki
masyarakat (Kharismawan, 2008).
Saat penyintas dipaksa
untuk meninggalkan tanah mereka dan bermigrasi di tempat lain, tanpa pelatihan
dan bekal yang memadai, tidak hanya kehidupan mereka yang terancam, namun juga
identitas dirinya. Mereka dipaksa menjadi peladang padahal sepanjang hidupnya
adalah nelayan, ataupun sebaliknya. Sebagai akibat jangka panjangnya, konflik
perkawinan meningkat, kenaikan tingkat perceraian pada tahun-tahun setelah
bencana dapat terjadi da juga meningkatnya kekerasan intra-keluarga (kekerasan
pada anak dan pasangan) (Kharismawan, 2008).
Bantuan yang tidak
terorganisir dan menempatkan penyintas sebagi objek pada akhirnya, sama
menghancurkannya dengan efek psikologis individual. Pemberian bantuan yang
tidak terpola menempatkan penyintas sebagai objek yang tidak berdaya, pada
akhirnya merusak etos kerja mereka dan terjadi ketergantungan pada pemberi
bantuan (Kharismawan, 2008).
Bencana fisik bisa
menghancurkan lembaga masyarakat, seperti sekolah dan komunitas agama, atau
dapat mengganggu fungsi mereka karena efek langsung dari bencana pada orang
yang bertanggung jawab atas lembaga-lembaga, seperti guru atau imam. Saat guru, tokoh adat atau tokoh agama
menjadi penyintas dari bencana dan tidak dapat mejalankan fungsinya, maka
sarana dukungan sosial dalam komunitas menjadi terganggung. Beberapa penelitian
menunjukkan meningkatnya kekerasan, agresi,
penggunaan narkoba dan alcohol
pada saat sistem masyarakat tidak berjalan dengan baik. Oleh karena itu
beberapa lembaga keagamaan merespon cepat, dengan mengirim ustad-ustad, pendeta
atau tokoh agama lainnya ke daerah bencana. Para tokoh agama memberikan
kontribusi penting untuk menghidupkan
kembali aktivitas dan ritual agama (Kharismawan, 2008).
2.3 Tindakan Keperawatan Kesehatan
Mental
Pada
bencana aspek kesehatan jiwa merupakan aspek yang penting karena pada saat
bencana terjadi perubahan situasi dari situasi normal ke situasi tidak normal
dimana seseorang akan mengalami kehilangan yang berdampak pada terganggunya
keseimbangan kondisi psikologis seseorang (Kementerian Kesehatan, 2011).
Prinsip
tindakan untuk mengatasi krisis sesuai dengan tiga faktor penyeimbang tersebut
yaitu membina hubungan saling percaya yang erat dengan penyintas, menggali
permasalahan yang dialami penyintas dan mengembangkan pemecahan masalah (Kemenkes RI, 2014)
Menurut
Kementerian Kesehatan (2011) Dalam memberikan intervensi untuk kesehatan jiwa
pada penanggulangan bencana terdapat fase‐fase
seperti berikut, antara lain:
2.3.1 Fase Kedaruratan Akut;
1) Intervensi
Sosial
Selama Fase kedaruratan akut dianjurkan untuk
melakukan intervensi sosial yang tidak mengganggu kebutuhan akut, seperti
pengadaan makanan, tempat berlindung, pakaian, pelayanan puskesmas dan mungkin
penanggulangan penyakit menular. Intervensi sosial dini yang berharga, mencakup
:
a) menjamin
dan menyebarkan arus informasi yang kredibel tentang;
(1)
kedaruratan;
(2)
upaya menjamin keselamatan fisik
masyarakat;
(3)
informasi upaya bantuan;
termasuk
apa yang dilakukan oleh masing‐masing
organisasi kemanusiaan dan dimana lokasinya;
(4)
keberadaan kerabat untuk mendorong
penyatuan keluarga dan jika mungkin menyediakan akses komunikasi dengan kerabat
di tempat jauh.
Informasi
harus disebarkan menurut prinsip komunikasi resiko : yaitu informasi harus
sederhana (dapat dimengerti oleh penduduk lokal diatas 12 tahun) dan empatik
(menunjukkan pemahaman akan situasi survivor bencana).
b) mengorganisasi
pelacakan keluarga untuk anak yang sendirian, lansia dan kolompok rentan lain
c) memberikan
pengarahan kepada petugas lapangan dari sector kesehatan, distribusi pangan,
kesejahteraan sosial dan pendataan tentang hal‐hal yang menyangkut berkabung,
disorientasi dan kebutuhan untuk partisipasi aktif;
d) mengorganisasi
penampungan dengan tujuan agar anggota keluarga dan masyarakat tetap berkumpul
bersama;
e) berkonsultasi
kepada masyarakat mengenai keputusan dimana akan ditempatkan sarana ibadah,
sekolah dan suplai air di penampungan. menyediakan ruang untuk kegiatan agama,
rekreasi dan kebudayaan dalam desain kamp;
f) jika
dimungkinkan, tidak dianjurkan untuk penguburan jenazah tanpa upacara demi
pengendalian penyakit menular. berlawanan dengan mitor, jenasah tidak atau
sedikit berisiko untuk penyakit menular. mereka yang berkabung perlu untuk
mengadakan upacara pemakaman dan apabila jenazah tidak termutilasi atau membusuk
juga untuk melihat jenazah untuk mengucapkan selamat jalan. sertifikat kematian
perlu diadakan untuk mencegah adanya akibat keuangan dan hukum yang tidak perlu
dipihak kerabat;
(Kementerian Kesehatan, 2011).
2) Intervensi
Psikologik
Intervensi
psikologik dalam fase akut : Tindakan yang
dapat dilakukan segera (24 jam) setelah bencana
a)
Nilai dengan
cermat
(1)
Kerusakan
lingkungan yang terjadi
(2)
Jenis cedera
yang dialami
(3)
Penderitaan yang
dialami
(4)
Kebutuhan dasar
yang harus dipenuhi segera (Kemenkes RI, 2014)
b)
Pada tahap ini
yang perlu dilakukan segera adalah:
(1)
Pertolongan
kedaruratan untuk masalah-masalah fisik
(2)
Memenuhi
kebutuhan dasar
(3)
Untuk membantu
individu melalui fase krisisnya maka perawat perlu memfasilitasi kondisi yang
dapt menyeimbangkan krisis seperti menjadi sumber koping (support system) bagi klien (Kemenkes RI, 2014).
c) Membuat
kontak dengan puskesmas atau pelayanan darurat di area setempat.
Menangani
keluhan psikiatrik yang mendesak (misalnya keberbahayaan terhadap diri sendiri
atau orang lain, psikosis, depresi berat, mania dan epilepsy) di Puskesmas
tanpa melihat apakah puskesmas tersebut dijalankan oleh pemerintah atau LSM.
Menjaga ketersediaan obat psikotropik esensial di Puskesmas. Banyak orang
dengan keluhan psikiatrik yang mendesak mempunyai gangguan psikiatrik yang
sudah ada sebelumnya dan terputusnya medikasi harus dihindari. Sebagai
tambahan, sebagian orang mungkin mencari pengobatan karena masalah kesehatan
mental akibat terpapar stressor yang ekstrim. Kebanyakan masalah kesehatan
mental akut selama fase kedaruratan akut paling baik ditangani tanpa medikasi
dengan mengikuti prinsip “pertolongan pertama psikologik” (yaitu, mendengarkan,
menyatakan keprihatinan, menilai kebutuhan, menjaga terpenuhinya kebutuhan
fisik dasar dan tidak memaksa berbicara, menyediakan atau mengerahkan
pendamping dari keluarga atau orang yang dekat, mendorong tetapi tidak
memaksakan dukungan social, melindungi dari cedera lebih lanjut (Kementerian Kesehatan, 2011).
d) Dengan
mengasumsikan adanya pekerja masyarakat relawan/non relawan, mengorganisasikan
dukungan emosional yang tidak bersifat intrusive dan menjangkau masyarakat
dengan menyediakan, jika perlu “pertolongan pertama psikologik” karena
kemungkinan efek negative tidak dianjurkan untuk mengadakan debriefing
psikologik sesi tunggal (single session psychological debriefing ) yang memaksa
orang untuk berbagi pengalaman pribadi melebihi yang akan dilakukan secara alami (Kementerian Kesehatan, 2011)
e) Jika
fase akut berkepanjangan, mulai pelatihan dan supervise pekerja Yankes Primer
dan pekerja kemasyarakatan (Kementerian Kesehatan, 2011)
2.3.2 Fase rekonsiliasi;
1)
Intervensi sosial
Berikut
ini saran tentang aktivitas intervensi sosial :
a) melanjutkan
intervensi sosial yang relevan
b) mengorganisasi
kegiatan psikoedukasi yang menjangkau ke masyarakat untuk memberi edukasi
tentang ketersediaan pilihan pelayanan kesehatan mental. dilakukan tidak lebih
awal dari empat minggu setelah fase akut, beri penjelasan dengan hati‐hati tentang perbedaan psikopatologi
dan distress psikologik normal, dengan menghindari sugesti adanya psikopatologi
yang luas dan menghindari istilah atau idiom yang membawa stigma;
c) mendorong
dilakukannya cara coping yang positif yang sudah ada sebelumnya. informasi itu
harus menekankan harapan terjadinya pemulihan alamiah;
d) dengan
berlalunya waktu, jika kemiskinan adalah masalah yang berlanjut, dorong upaya
pemulihan ekonomi. Contoh inisiatif semacam ini adalah
(1)
skema kredit mikro;
(2)
aktifitas yang mendatangkan penghasilan
jika pasar lebih menjanjikan sumber penghasilan yang berkelanjutan.
2)
Intervensi Psikologik
a) Lakukan
aktifitas rekreasi bagi anak-anak
b) Informasikan
pada korban tentang reaksi psikologis normal yang terjadi setelah bencana.
Yakinkan mereka bahwa hal tersebut
normal dan berlangsung sementara; akan hilang dengan sendirinya dan dialami
oleh semua orang. Informasikan tentang reaksi stres yang normal pada
masyarakat secara massal (libatkan ulama, guru dan pemimpin sosial lainnyal).
Bantu melakukan manajemen stres secara individu, keluarga maupun kclompok.
c)
Motivasi para korban untuk bekerja
bersama memenuhi kebutuhan mereka seperti membersihkan lokasi bersama-sama,
memasak bersama.
d) Libatkan
korban yang masih selibat dalam pelaksanaan bantuan
e) Motivasi
pemimpin masyarakat dan tokoh kunci lainnya untuk terlibat dalam diskusi
kelompok dan dapat memotivasi klien untuk berbagi perasaan
f) Pastikan
informasi yang diterima akurat
g) Pastikan
distribusi bantuan merata
h) Berikan
pelayanan dengan “empati yang sehat” dan tidak memihak pada salah satu bagian
dari masyarakat (misalnya golongan minoritas).
i)
mendorong kebali dilakukannya aktifitas
budaya dan keagamaan yang normal (termasuk upacara berkabung dalam kerja sama
dengan praktisi spiritual dan agama);
j)
mendorong aktifitas yang menfasilitasi
masuknya yatim‐piatu,
jandaduda atau orang yang sebatang kara kedalam jejaring social;
k) mendorong
pengorganisasian aktivitas rekreasional normal untuk anak‐anak. penyedia bantuan
harus berhati‐hati
untuk tidak memberikan keperluan rekreasi (misalnya seragam sepak bola, mainan
modern) yang dianggap mewah dalam konteks lokal sebelum kedaruratan;
l)
mendorong dimulainya sekolah untuk anak‐anak, meskipun tidak
penuh;
m) melibatkan
orang dewasa dan remaja dalam kegiatan yang konkret, bertujuan dan diminati
bersama (misalnya membangun tempat penampungan, mengorganisasi pelacakan
keluarga, pembagian makanan, mengorganisasi vaksinasi, mengajar anak‐anak);
n) menyebarkan
secara luas informasi yang sederhana, menenteramkan dan empatik tentang reaksi
stress normal kepada masyarakat luas, pertemuan dengan pers, siaran radio,
poster dan selebaran yang singkat dan tidak bersifat sensasional akan berguna
untuk menenteramkan masyarakat.
2.3.3 Fase Rekonsolidasi
1)
Intervensi Sosial
a)
Melanjutkan intervensi sosial yang
relevan
b)
Mengorganisasi kegiatan psikoedukasi
yang menjangkau ke masyarakat untuk memberi pendidikan tentang ketersediaan
pilihan pelayanan kesehatan jiwa. Dilakukan tidak lebih awal dari empat minggu
setelah fase akut, beri penjelasan dengan hati‐hati tentang perbedaan psikopatologi dan
distres psikologik normal, dengan menghindari sugesti adanya psikopatologi yang
luas dan menghindari istilah atau idiom yang membawa stigma.
c)
Mendorong dilakukannya cara coping
mechanism yang positif yang sudah ada sebelumnya. Informasi itu harus
menekankan harapan terjadinya pemulihan alamiah.
d)
Melatih petugas kemanusiaan lain dan
pemuka masyarakat (misalnya kepala desa, guru dll.) dalam ketrampilan inti
perawatan psikologik (seperti 'pertolongan pertama psikologik', dukungan
emosional, menyediakan informasi, penenteraman yang simpatik, pengenalan
masalah kesehatan mental utama) untuk meningkatkan pemahaman
2) Intervensi
Psikologik
Dalam
hal intervensi psikologik selama fase rekonsolidasi, dianjurkan melakukan
aktifitas berikut :
a)
mendidik pekerja kemanusiaan lain dan
pemuka masyarakat (misalnya kepala desa, guru, dll) dalam ketrampilan inti
perawatan psikologik, seperti :
(1) pertolongan
pertama psikologik;
(2) dukungan
emosional;
(3) menyediakan
informasi;
(4) penentraman
yang simpatik;
(5) pengenalan
masalah kesehatan mental utama.
untuk
meningkatkan pemahaman dan dukungan masyarakat dan untuk merujuk orang ke
Puskesmas jika diperlukan.
b)
melatih dan mensupervisi pekerja
Pelayanan Kesehatan Primer dalam pengetahuan dan ketrampilan dasar kesehatan
mental, misalnya :
(1) pemberian
medikasi psikotropik yang tepat;
(2) pertolongan
pertama psikologi;
(3) konseling
suportif;
(4) bekerja
bersama keluarga;
(5) mencegah
bunuh diri;
(6) penatalaksanaan
keluhan somatic yang tak dapat dijelaskan;
(7) masalah
penggunaan zat;
(8) rujukan.
c)
menjamin kesinambungan medikasi
penyintas psikiatrik yang mungkin tidak mempunyai akses terhadap medikasi
selama fase kedaruratan akut;
d)
melatih dan mensupervisi pekerja
komunitas (misalnya pekerja bantuan, konselor) untuk membantu Yankes Primer
yang beban kerjanya berat. Pekerja komunitas dapat terdiri dari relawan, para
professional atau professional, tergantung keadaan. Pekerja komunitas perlu
dilatih dan disupervisi dengan baik dalam berbagai ketrampilan inti :
(1) penilaian
persepsi individual, keluarga dan kelompok tentang masalah yang dihadapi,
pertolongan pertama psikologik, menyediakan dukungan emosional, konseling
perkabungan (grief counseling)
(2) manajemen
stress “konseling pemecahan masalah”
(3) memobilisasi
sumber daya keluarga dan masyarakat serta rujukan
e)
bekerja sama dengan penyembuh
tradisional (traditional healers) jika mungkin. dalam beberapa keadaan
dimungkinkan kerja sama antara praktisi tradisional dan kedokteran;
f)
menfasilitasi terbentuknya kelompok
dukungan tolong diri yang berbasis komunitas. Fokus dari kelompok tolong diri
ini biasanya berbagi pengalaman dan masalah, curah pendapat untuk solusi atau
cara yang lebih efektif untuk coping (termasuk cara‐cara tradisional),
menimbulkan dukungan emosional timbal balik dan kadang kala menimbulkan
inisiatif di tingkat masyarakat.
2.1 Pemulihan Individu dan Keluarga
Asuhan
Individu dan Keluarga
2.6.1 Pengkajian
1)
Menampilkan
pengkajian cepat saat situasi bencana dan kebutuhan-kebutuhan asuhan
keperawatan.
2)
Melakukan
pengkajian yang tepat usia dan riwayat kesehatan termasuk penanganan fisik dan
psikologis terhadap bencana.
3)
Mengenali
gejala-gejala penyakit menular (communicable
disease) dan mengambil langkah-langkah untuk mengurangi penyebaran terhadap
korban.
4)
Mengambarkan
tanda dan gejala terpapar zat kimia, biologi, radiologi, nuklir, dan bahan
peledak.
5)
Mengidentifikasi
pola atau pengelompokkan yang tidak biasa dari suatu penyakit atau cidera yang
mungkin mengindikasi terpapar zat biologi atau zat lainnya yang berhubungan
dengan bencana.
6)
Menentukan
kebutuhan untuk dekontaminasi, isolasi atau karantina dan mengambil langkah
yang tepat.
7)
Mengenali
kebutuhan kesehatan mental responder dan memberi rujukan yang tepat.
(WHO, 2009)
2.6.2 Implementasi
1)
Melaksanakan
intervensi keperawatan yang tepat termasuk perawatan trauma dan
kegawatdaruratan sejalan dengan prinsip-prinsip ilmiah yang dapat diterima.
2)
Mengaplikasi
kemampuan berpikir kritis, fleksibel dan kreatif untuk memberikan solusi yang
mendukung asuhan keperawatan untuk memenuhi kebutuhan klien yang
teridentifikasi dan diantisipasi dari bencana.
3)
Mengaplikasi
prinsip triase yang dapat diterima ketika memulai asuhan berdasarkan pada
situasi bencana dan sumber yang tersedia.
4)
Mengadaptasi
standar praktik keperawatan sesuai dengan yang dibutuhkan berdasarkan pada
sumberyang tersedia dan kebutuhan perawatan penyintas.
5)
Menciptakan
lingkungan yang aman bagi penyintas.
6)
Mempersiapkan
psien untuk dipindahkan dan mendukung keselamatan penyintas pada saat
dipindahkan.
7)
Menampilkan
pemberian obat, vaksin dan imunisasi yang aman.
8)
Menerapkan
prinsip-prinsip pengontrolan infeksi untuk mencegah penyebaran penyakit.
9)
Mengevaluasi
keberhasilan intervensi keperawatan dan merevisi asuhan yang dibutuhkan.
10) Memberikan asuhan dalam situasi yang tidak memihak.
11) Mempertahankan keselamatan diri dan orang lain pada
saat bencana.
12) Menjaga dakumen sejalan dengan prosedur penanganan
bencana.
13) Menyediakan asuhan yang merefleksikan latar belakang
keragaman budaya, social dan spiritual dari indiidu.
14) Mengelola asuhan dalam rangka menghargai keyakinan
budaya, social, dan spiritual masyarakat ketika situasi memungkinkan.
15) Mengelola aktivitas pelayanan kesehatan yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan lainnya.
16) Bekerja dengan individu dan lembaga yang tepat untuk
membantu korban bencana menemukan kembali anggota keluarga atau orang yang
disayanginya.
17) Melindungi para responder untuk dapat mengakses
pelayanan kesehatan.
18) Rujuk korban ke kelompok atau lebaga lain jika
dibutuhkan.
(WHO, 2009)
2.6.3 Pemulihan Individu dan Keluarga
1)
Mengembangkan
rencana untuk memenuhi kebutuhan keperawatan fisik dan psikologis jangka pendek
dan jangka panjang para korban selamat.
2)
Mengidentifikasi
perubahan kebutuhan para korban selamat dan merevisi rencana asuhan seperti
yang dipersyaratkan.
3)
Merujuk para
korban selamat dengan kebutuhan tambahan kepada organisasi atau spesialis yang
tepat.
4)
Mengajarkan para
korban selamat strategi pencegahan penyakit dan cedera.
5)
Membantu
fasilitas/saran pelayanan kesehatan setempat dalam pemulihan.
6)
Berkolaborasi
dengan pelayanan kesehatan masyarakat yang sudah ada untuk pemeliharaan dan
pelayanan kesehatan.
7)
Berfungsi
sebagai advokat bagi para korban selamat dalam pemenuhan kebutuhan jangka
panjang.
(WHO, 2009)
2.6.4 Asuhan Psikologis
1)
Menggambarkan
fase-fase respon psikologis dan respon perilaku yang diharapkan terhadap
bencana.
2)
Memahami dampak
psikologis bencana pada orang dewasa.
3)
Menyediakan
dukungan psikologis yang tepat kepada
korban selamat dan para responder.
4)
Menggunakan
hubungan terapeutik secara efektif dalam situasi bencana.
5)
Mengidentifikasi
respon perilaku individu terhadap bencana dan menyediakan intervensi yang tepat
jika diperlukan (seperti pertolongan pertama psikologi)
6)
Membedakan
antara respon yang adaptif dan mal adaptif terhadap bencana.
7)
Menerapkan
intervensi kesehatan mental yang tepat dan memulai rujukan yang diperlukan.
8)
Mengidentifikasi
strategi koping yang tepat bagi korban selamat, keluarga dan para responder.
9)
Mengidentifikasi
korban dan para responder yang menbutuhkan bantuan/dukungan keperawatan
kesehatan mental tambahan dan rujuk ke sumber daya yang tepat.
(WHO, 2009)
2.6.5 Aktivitas Pemulihan Individu dan Keluarga
Menurut Kemenkes RI (2014) pemulihan individu dan keluarga dilakukan dengan:
1)
Mengembangkan
rencana untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek dan jangka panjang.
2)
Pemenuhan
kebutuhan fisik diantaranya berfokus dalam memenuhi kebutuhan akan makanan,
eliminasi, kebersihan, mobilisasi, kondisi kesehatan. Sementara pemenuhan
kebutuhan psikologis berfokus pada kesehatan mental dan kebutuhan akan
informasi.
3)
Mengidentifikasi
perubahan kebutuhan korban dan memperbaiki asuhan keperawatan
4)
Mengidentifikasi
perubahan kebutuhan korban berdasarkan hasil pengkajian fisik dan psikologis
serta memodifikasi intervensi keperawatan. Contoh seorang survivor yang
mengalami amputasi dan melakukan mobilisasi yang digunakan harus menyesuaikan
dengan kondisi lingkungannya. Contoh lainnya adalah menyesuaikan bentuk makanan
yang diberikan pada korban dengan usia lansia ataupun balita agar tidak terjadi
gangguan nutrisi.
5)
Merujuk korban
bencana dengan kebutuhan khusus ke spesialisasi atau organisasi
6)
Survivor dengan
kebutuhan khusus umumnya merupakan korban bencana yang mengalami disability
akibat bencana seperti fraktur, cedera kepala, cedera spinal, amputasi.
Survivor dengan kebutuhan khusus ini memerlukan rujukan ke berbagai tim
kesehatan untuk memulihkan fisik dan psikologis korban dan mempersiapkan agar
mereka dapat kembali ke kehidupannya mendekati konsis sebelum bencana terjadi.
Pemenuhan kebutuhan khusus bagi survivor juga harus memperhatikan perkembangan
kondisi dan lingkungan di daerah bencana.
7)
Mengajarkan
korban strategi pencegahan penyakit dan injuri pada daerah pengungsian, perawat
mengembangkan strategi untuk mencegahpenyakit dan injuri dengan memperhatikan
kebersihan individu dan lingkungan termasuk dalam hal pemenuhankebutuhan
eliminasi, agar tidak timbul wabah sekunder akibat situasi yang buruk ataupun
kondisi lingkungan yang buruk akibat bencana.
8)
Membantu
pemulihan fasilitas pelayanan kesehatan local
9)
Dalam situasi
bencana fasilitas kesehatan mengambil peran penting dalam pemberian pelayanan
kesehatan dan sekaligus sebagai pusat informasi bagi survivor pada saat
bencana.
10) Survivor menggunakan pusat pelayanan kesehatan untuk
segala bentuk informasi seperti mencari anggota keluarga yang hilang.
11) Melakukan kolaborasi dengan pelayanan kesehatan
komunita syang tersedia untuk memberikan pelayanan kesehatan
12) Perawat dapat melakukan kolaborasi dengan pusat
pelayanan kesehatan yang tersedia di komunitas untuk memberikan pelayanan
kesehatan yang lebih optimal. Kegiatan yang dilakukan diantaranya dapat berupa
alokasi bantuan tenaga kesehatan.
13) Memberikan advokasi kepada korban bencana dalam
pemenuhan kebutuhan jangka panjang
14) Advokasi diberikan dalam memulihkan kemampuan
individu dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan secara mandiri.kebutuhan
tersebut meliputi kebutuhan fisik dan psikologis pasca bencana. Individu harus
mampu berperan aktif dalam perencanaan pemenuhan kebutuhan jangka panjang.
Advokasi dapat berupa pemberian pendidikan kesehatan pada individu.
2.2 Pemulihan Masyarakat
2.7.1 Tujuan
Tujuan dari memberikan pelayanan saat
fase pemulihan adalah membantu masyarakat yang terkena bencana untuk
mengatur/memanaj pemulihannya sendiri. Dalam memberikan pelayanan pada fase
pemulihan harus memperhatikan 6 konsep, yaitu:
1)
Memahami konteks
2)
Mengenali
kompleksitas
3)
Menggunakan
pendekatan masyarakat terpimpin (community
led-approaches)
4)
Memastikan
adanya koordinasi untuk semua aktvitas
5)
Menerapkan
komunikasi yang efektif
6)
Acknowledging and building capacity (Kemenkes RI, 2014).
2.7.2 Asuhan Komunitas
1)
Menggambarkan
fase-fase penanganan masyarakat pada saat bencana dan pengaruhnya terhadap
intervensi keperawatan.
2)
Mengumpulkan
data yang diperlukan, berkaitan dengan jumlah cidera dan angka kesulitan.
3)
Mengevaluasi
kebutuhan kesehatan dan sumber yang tersedia pada area yang terkena bencana
untuk memenuhi kebutuhan dasar dari masyarakat.
4)
Bekerja sama
dengan kelompok penanganan bencana untuk menurunkan bahaya dan resiko daerah
yang terkena bencana.
5)
Memahami
bagaimana memprioritaskan pelayanan dan mengelola berbagai macam situasi.
6)
Berpartisipasi
dalam strategi pencegahan dan seperti kegiatan imunisasi massal.
7)
Bekerja sama
dengan lembaga bantuan dalam memenuhi kebutuhan dasar masyarakat (seperti:
tempat penampungan, makanan, air, dan pelayanan kesehatan).
8)
Menyediakan
pendidikan berbasis masyarakat yang berkaitan dengan pengaruh kesehatan
bencana.
9)
Mengevaluasi
pengaruh intervensi keperawatan pada berbagai macam populasi/masyarakat dan
budaya, dan penggunaan hasil evaluasi untuk membuat evidence-based decisions.
10) Mengelola sumber daya dan pembekalan yang dibutuhkan
untuk mendukung pelayanan di masyarakat.
11) Berpartisipasi secara efektif sebagai bagian dari
kelompok multidisiplin.
(WHO, 2009)
2.7.3
Aktifitas pada
pemulihan komunitas meliputi:
1)
Mengumpulkan
data yang berhubungan dengan respon bencana sebagai evaluasi.
2)
Melakukan
evaluasi sebagai respon dan praktik keperawatan selama bencana dan melakukan
kolaborasi dengan organisasi keperawatan untuk mengatasi masalah yang terjadi
dan memperbaiki respon yang akan datang.
3)
Berpartisipasi
dalam menganalisis data yan berfokus pada peningkatan respon bencana.
4)
Mengidentifikasi
hal-hal yang membutuhkan perbaikan dan mengkomunikasikan ke pihak-pihak
terkait.
5)
Membantu
komunitas dalam proses transmisi dari fase respon disaster/emergensi melalui
proses pemulihan dan rehabilitasi ke fungsi normal.
6)
Berbagi
informasi tentang sumber-sumber referral yang digunakan dalam disaster.
7)
Membantu dalam
mengembangkan strategi pemulihan yang meningkatkan kualitas hidup bagi
komunitas.
8)
Melakukan
kolaborasi dengan grup dan agen untuk mendirikan kembali pelayanan kesehatan
dalam komunitas.
(Kemenkes RI, 2014).
2.1 Aspek Legal Psikologis Bencana
Aspek legal dalam psikologis bencana, yaitu:
2.6.1 PP No. 21 Tahun 2008
Pasal 68
1)
Pemulihan sosial psikologis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 56 ayat (1) huruf d ditujukan untuk membantu masyarakat yang
terkena dampak bencana, memulihkan kembali kehidupan sosial dan kondisi
psikologis pada keadaan normal seperti kondisi sebelum bencana.
2)
Kegiatan membantu masyarakat terkena dampak bencana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui upaya pelayanan sosial
psikologis berupa:
a. bantuan konseling dan
konsultasi keluarga;
b. pendampingan
pemulihan trauma; dan
c. pelatihan pemulihan
kondisi psikologis.
3)
Pelayanan sosial psikologis sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilaksanakan oleh instansi/lembaga yang terkait secara
terkoordinasi dengan BPBD.
2.6.2 Peraturan
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) nomor 11 tahun 2008, yaitu Pemulihan Sosial Psikologis
Cakupan
Pengertian :
a) Yang
dimaksud pemulihan sosial psikologis adalah pemberian bantuan kepada masyarakat
yang terkena dampak bencana agar dapat berfungsi kembali secara normal.
b) Yang
dimaksud dengan kegiatan psikososial adalah kegiatan mengaktifkan elemen-elemen
masyarakat agar dapat kembali menjalankan fungsi sosial secara normal. Kegiatan
ini dapat dilakukan oleh siapa saja yang sudah terlatih.
c) Yang
dimaksud dengan kegiatan intervensi psikologis adalah pemberian pertolongan
kepada masyarakat untuk meringankan beban psikologis akibat bencana dan
mencegah terjadinya dampak psikologis lebih lanjut yang mengarah kepada
gangguan mental. Intervensi diberikan oleh profesional.
d) Bantuan
konseling dan konsultasi keluarga adalah pemberian pertolongan kepada individu
atau keluarga untuk melepaskan ketegangan dan beban psikologis secara
terstruktur.
e) Pendampingan
pemulihan trauma adalah pendampingan terstruktur dengan berbabagai metode
terapi psikologis yang tepat kepada individu yang mengalami trauma psikologis
agar dapat berfungsi secara normal kembali.
f) Pelatihan
pemulihan kondisi psikologis adalah pelatihan untuk pemuka komunitas, relawan
dan pihak-pihak yang ditokohkan/mampu dalam masyarakat untuk memberikan
dukungan psikologis kepada masyarakatnya.
g) Pemulihan
sosial psikologis bertujuan agar masyarakat mampu melakukan tugas sosial
seperti sebelum terjadi bencana, serta tercegah dari mengalami dampak
psikologis lebih lanjut yang mengarah pada gangguan kesehatan mental
DAFTAR PUSTAKA
Dalami, E. (2009). Buku Asuhan Keperawatan Jiwa.
Jakarta: TIM.
Keliat,
B. A. (2005). Keperawatan jiwa: Terapi aktivitas kelompok. EGC, Jakarta.
Kemenkes
RI. (2014). Modul Keperawatan Bencana Dasar. Jakarta: Badan PPSDM
Kesehatan.
Kementerian
Kesehatan, R. (2011). Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat
Bencana.
Khambali,
I., & ST, M. (2017). Manajemen Penanggulangan Bencana. Penerbit
Andi.
Kharismawan,
K. (2008). Panduan program psikososial paska bencana. Semarang: Center
For Trauma Recovery Unika Soegijapranata.
Mubarak,
W. I. (2007). Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: EGC.
Poltekkes
Kemenkes Bandung. (2015). Modul PPGD-B Nasional. Bandung.
Prabowo,
E. (2014). Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.
Sobur,
A. (2003). Psikologi umum dalam lintasan sejarah. Bandung: Pustaka
Setia.
WHO,
I. (2009). Kerangka Kerja ICN: kompetensi keperawatan bencana.
Switzerland.