Saturday, February 24, 2018

Respon Psikologis Pasca Bencana





2.1  Psikologis Bencana
Bencana adalah peristiwa atau kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan kerusakan ekologi, kerugian kehidupan manusia, serta memburuknya kesehatan dan pelayanan kesehatan yang bermakna sehingga memerlukan bantuan luar biasa dari pihak luar (Khambali & ST, 2017).
Menurut Kharismawan (2008) Tidak semua orang akan mengalami gejala dan dampak psikologis yang sama pada saat menghadapi bencana.   
Pada bencana aspek kesehatan jiwa merupakan aspek yang penting karena pada saat bencana terjadi perubahan situasi dari situasi normal ke situasi tidak normal dimana seseorang akan mengalami kehilangan yang berdampak pada terganggunya keseimbangan kondisi psikologis para korban bencana sangat terguncang yang dapat mengakibatkan stress dan depresi (Kemenkes RI, 2014).
2.1.1   Faktor yang Mempengaruhi Kerentanan Psikologis
Menurut Kharismawan (2008) beberapa faktor dapat meningkatkan ataupun  menurunkan risiko :
1)        Tingkat keparahan. 
Semakin parah bencana yang terjadi,  maka semakin buruk kemungkinan dampaknya. Pada kasus kamp-kamp konsentrasi Nazi, genosida Rwanda, Killing Fields di Kamboja,  hampir semua orang yang mengalami peristiwa traumatis menderita akibatnya untuk waktu yang sangat panjang.
2)        Jenis bencana. 
Bencana yang terjadi karena manusia akan berdampak lebih parah daripada bencana karena alam. Perang, Terorisme dan kerusuhan sosial berdampak lebih merusak secara psikologis daripada Gempa, Tsunami ataupun Banjir. Bencana karena manusia yang disengaja (pembakaran  toko, pemerkosaan), akan lebih merusak daripada yang tidak disengaja (kecelakaan kerja, robohnya bangunan). Dua orang pemiliki toko yang tokonya sama sama terbakar saat kerusuhan di Solo 14 Mei 2008, menunjukkan reaksi yang berbeda. Pemilik toko yang tokonya dibakar langsung dalam amuk massa, menunjukkan gejala ptsd yang lebih kuat daripada pemilik toko yang tokonya terbakar dalam kerusuhan tersebut namun secara tidak langsung (karena angin yang bertiup kencang, membawa api dari rumah ke rumah)
3)        Jenis kelamin dan usia.
Wanita (terutama ibu-ibu yang memiliki anak balita), anak usia lima sampai sepuluh, dan orang-orang tua lebih rentan daripada yang lain. Orang dengan daya tahan fisik yang lebih lemah, akan mengintepretasikan suatu ancaman lebih besar/mengerikan daripada seseorang dengan daya tahan tubuh yang lebih kuat. Sebaliknya  pada bayi dan anak-anak dibawah 2 tahun, meski secara fisik mereka masih lemah, namun kondisi psikologis mereka sangat ditentukan oleh orang tua atau orang dewasa yang ada di dekat mereka karena kemampuan kognitif mereka dalam mengenali bahaya masih terbatas. Jika orang dewasa disekitar mereka bersikap tenang, maka merek juga akan relatif tenang.
4)        Kepribadian.
Orang-orang dengan kepribadian yang matang, konsep diri yang positip dan reseliensi yang bagus akan lebih mampu daripada yang tidak memiliki. Orang-orang yang tumbuh dengan tidak percaya diri, ketika menghadapi bencana juga akan mempersepsi tentang kekuatan dirinya maupun masa depannya secara negatif dan pesimis.
5)        Ketersediaan jaringan dan dukungan sosial
Keberadaan keluarga yang mendukung, teman-teman, dan masyarakat akan mampu mengurangi kemungkinan efek samping jangka panjang.  Masyarakat yang masih erat, dan saling peduli akan lebih mampu mengatasi masa-masa sulit daripada masyarakat perkotaan yang individualis. Kunjungan dan sapaan terhadap penyintas, akan mempercepat pemulihan mereka. Pada faktor ini, tradisi kenduri 7 hari,  30 hari atau 100 hari paska kematian pada masyarakat Muslim di Jawa ataupun kebaktian penghiburan pada orang Nasrani, memiliki peranan yang besar dalam pemulihan. Penyintas yang kehilangan anggota keluarganya mendapatkan dukungan sosial dengan kehadiran saudara dan sahabat mereka.
6)       Pengalaman sebelumnya.
Mereka yang telah berhasil mengatasi dengan trauma di masa lalu, akan lebih dapat mengatasi bencana berikutnya dengan lebih baik

2.2  Respon Psikologis saat Bencana
Respon berasal dari kata respons yang berarti tanggapan (reaction) atau balasan. Respon merupakan istilah psikologis yang digunakan untuk menyebutkan reaksi terhadap rangsang yang diterima oleh panca indera (Sobur, 2003).
Respon psikologis merupakan tanggapan, tingkah laku atau sikap terhadap rangsangan/masalah tertentu yang berkaitan dengan keadaan jiwa individu (Sobur, 2003).
Kondisi psikologis saat bencana merupakan suatu kondisi terjadinya integritas psikologis secara mendadak dalam suatu lingkungan yang tidak dapat dikendalikan. Beberapa kondisi yang biasanya menyertai bencana antara lain adalah kematian, kerusakan dan kehilangan harta benda, serta perpisahan dengan orang yang dicintai. Proses yang terjadi adalah proses kehilangan akibat bencana. (Kemenkes RI, 2014)
2.2.1  Konsep Kehilangan
Kehilangan adalah situasi aktual atau potensial ketika sesuatu (orang atau objek) yang dihargai telah berubah, tidak ada lagi, atau menghilang (Mubarak, 2007). Kehilangan adalah suatu keadaan berpisahnya individu dengan sesuatu yang sebelumnya dimilikin atau ada (Dalami, 2009).
Proses kehilangan yang dialami bervariasi lama waktunya. Setiap individu dapat ditemukan berada di setiap fase. Pendekatan yang dilakukan dalam memberikan bantuan psikologis disesuaikan pada fase yang dialami. Tujuannya dari bantuan yang diberikan adalah supaya individu dapat melalui setiap fase dengan baik untuk dapat sampai pada fase menerima (Kemenkes RI, 2014).
Saat kehilangan terjadi pada masa kanak-kanak maka akan mengacam kemampuan anak untuk berkembang dan kadang kala menimbulkan kemunduran (regresi)
1)      Fase Kehilangan
a)      Fase Pengingkaran (Denial)
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak percaya atau mengingkari kenyataan bahwa kehidupan itu memang benar terjadi, dengan mengatakan “tidak”, saya tidak percaya itu terjadi atau itu tidak mungkin terjadi (Prabowo, 2014).
Peran Perawat pada fase pengingkaran
(1)   Memberi kesempatan pada penyintas untuk mengungkapkan perasaannya dengan cara ;
(a)    Mendorong penyintas untuk mengungkapkan persaan berdukanya.
(b)   Meningkatkan kesabaran penyintas secara bertahap tentang kenyataan dan kehilangan apabila sudah siap secara emosional.
(c)    Menunjukkan sikap menerima dengan ikhlas dan mendorong penyintas untuk berbagi rasa dengan cara :
(2)   Mendengarkan dengan penuh perhatian dan minat apa yang dikatakan oleh penyintas tanpa menghukum atau menghakimi.
(3)   Menjelaskan kepada penyintas bahwa sikap tersebut dapat terjadi pada orang yang mengalami kehilangan.
(4)   Memberikan jawaban yang jujur terhadap pertanyaan penyintas tentang sakit, pengobatan dan kematian dengan cara
(a)    Menjawab pertanyaan penyintas dengan bahasa yang sudah dimengerti, jelas dan tidak berbelit-belit.
(b)   Mengamati dengan cermat respon penyintas selama berbicara.
(c)    Meningkatkan kesadaran secara bertahab.
b)      Fase marah (Angry)
Fase ini dimulai dengan timbulnya suatu kesadaran akan kenyataan terjadinya kehilangan individu menunjukan rasa marah yang meningkat yang sering diproyeksikan kepada orang lain atau pada dirinya sendiri (Prabowo, 2014).
“Kenapa saya? Ini tidak adil, siapa yang harus disalahkan”
Tindakan keperawatan :
(1)   Mengizinkan dan mendorong penyintas untuk mengungkapkan rasa marah secara verbal tanpa melawan dengan kemarahan
(2)   Menjelaskan kepada keluarga bahwa kemarahan penyintas sebenarnya tidak ditujukan kepada mereka.
(3)   Menizinkan penyintas untuk menangis
(4)   Mendorong penyintas untuk membicarakan rasa marahnya.
(5)   Membantu penyintas menguatkan system pendukung dengan orang lain.
c)      Tawar-menawar (Bargaining)
Individu telah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara intensif, maka ia akan maju ke fase tawar menawar dengan memohon kemurahan kepada tuhan (Prabowo, 2014).
“Saya akan lakukan apapun agar dapat bertahan beberapa tahun lagi”
Peran perawat yaitu membantu penyintas dalam mengungkapkan rasa bersalah dan takut dengan cara;
(1)   Mendengar ungkapan dengan penuh perhatian
(2)   Mendorong penyintas untuk membicarakan takut atau rasa bersalahnya.
(3)   Bila penyintas selalu mengungkapkan “ kata…” atau “ seandainya….” Beritahu penyintas bahwa ia hanya dapat melakukan sesuatu yang nyata.
(4)   Membahas bersama penyintas mengenai penyebab rasa bersalah atau rasa takutnya.
d)     Fase depresi/berduka
Pada fase ini individu sering menunjukan sikap menarik diri, kadang sebagai penyintas sangat penurut, tidak mau bicara, manyatakan keputusan, perasaan tidak berharga, dan sebagainya (Prabowo, 2014).
apa gunanya lagi, saya tidak punya apa-apa lagi”
Tindakan keperawatan
a)      Membantu penyintas mengidentifikasi rasa berduka dan takut dengan cara;
(a)    Mengamati perilaku penyintas dan bersalah dengannya membahas perasaannya.
(b)   Mencegah tindakan bunuh diri atau merusak diri sesuai derajat resikonya.
b)      Membantu penyintas mengurangi rasa berduka dengan cara:
(a)    Menghargai perasaan penyintas
(b)   Membantu penyintas menemukan dukungan yang positif dengan mengaitkan terhadap kenyataan.
(c)    Bersama penyintas membahas pikiran yang selalu timbul.
e)      Fase penerimaan
Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran yang yang selalu berpusat kepada obyek atau orang yang hilang akan mulai berkurang sampai hilang (Prabowo, 2014).
“Semua akan baik-baik saja. Saya tidak dapat melawan ini, lebih baik saya bersiap diri untuk menghadapinya”
Tindakan keperawatan:
Membantu penyintas menerima kehilangan yang tidak bisa dielakkan dengan cara:
(1)   Membantu keluarga mengunjungi penyintas secara teratur
(2)   Membantu keluarga berbagi rasa, karena setiap anggota keluarga tidak berada pada tahap yang sama pada saat yang bersamaan.
(3)   Membahas rencana setelah masa berkabung terlewati
(4)   Memberi informasi akurat tentang kebutuhan penyintas dan keluarganya.
2.2.2  Mekanisme Reaksi Psikologis Bencana
Segera setelah terjadinya bencana individu atau masyarakat pada area yang terkena akan mengalami trauma dan berada pada situasi krisis akibat perubahan yang terjadi secara tiba-tiba dalam kehidupan. Perubahan ini dapat menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan bagi individu maupun masyarakat yang terkena.
Shock dan penyangkalan merupakan respons yang khas dan normal untuk peristiwa traumatis dan bencana. Shock adalah gangguan tiba-tiba dan intens yang membuat korban terpana atau bingung. Penolakan dalam bentuk tidak mengakui bahwa sesuatu yang menegangkan telah terjadi. Setelah melalui masa keterkejutan awal, reaksi bervariasi dari satu orang ke orang lain. Perilaku yang diperlihatkan individu yang mengalami bencana sangat bervariasi.
Reaksi ini tampak hampir pada setiap orang di daerah bencana dan ini dipentingkan sebagai reaksi alamiah pada situasi abnormal.
Factor keseimbangan yang mempengaruhi respon individu terhadap krisis adalah persepsi terhadap kejadian, system pendukung yang dimiliki dan mekanisme koping yang digunakan (Kemenkes RI, 2014).
2.2.3   Dampak Psikologis Bencana pada Individu
Dalam bencana tidak ada patokan yang kaku tentang tahapan dalam merespon bencana, ada banyak variasi pada setiap tahap dan tahap tumpang tindih.  Oleh karena itu munculnya gejala gangguan psikologis dapat bervariasi, tergantung banyak factor, namun bisa mencapai 90%tau bahkan lebih. Penyintas akan menunjukkan setidaknya beberapa gejala psikologis yang negatif setelah beberapa jam paska bencana . Pada bencana  social, misalnya konflik, dua belas minggu paska bencana, 20-50 persen atau bahkan lebih masih dapat menunjukkan tanda-tanda signifikan dari gangguan tersebut. Jika tidak diatasi dan diselesaikan dengan tepat dan cepat, reaksi tersebut dapat menjadi gangguan psikologis yang serius (Kharismawan, 2008).
1)        Reaksi Segera
Menurut Kharismawan (2008) Tahap ini adalah  masa beberapa jam setelah bencana. Pada tahap ini kegiatan bantuan sebagian besar difokuskan pada menyelamatkan penyintas dan berusaha untuk menstabilkan situasi. Penyintas harus ditempatkan pada lokasi yang aman dan terlindung, pakaian yang pantas, bantuan dan perhatian medis, serta  makanan dan air yang cukup. Selama tahap penyelamatan, berbagai jenis respon emosional bisa dilihat. Penyintas mungkin mengalami perubahan dari satu jenis respon terhadap lain atau mungkin tidak menunjukkan sikap yang "biasa". Pada fase ini kadang penyintas mengalami numbing, atau suatu kondisi mati rasa secara psikis.
Beberapa reaksi yang mungkin timbul segera dalam 24 jam pasca bencana
a)      tegang, cemas dan panik;
b)      kaget, linglung, syok, tidak percaya;
c)      gelisah, bingung;
d)     agitasi, menangis, menarik diri;
e)      rasa bersalah pada korban yang selamat.
Reaksi ini tampak hampir pada setiap orang di daerah bencana dan ini dipertimbangkan sebagai reaksi alamiah pada situasi abnormal, tidak membutuhkan intervensi psikologis khusus.
(Kementerian Kesehatan, 2011)
2)      Reaksi dalam hari sampai minggu
Reaksi terjadi dalam hari sampai minggu setelah bencana;
a)      Ketakutan, waspada, siaga berlebihan;
b)      Mudah tersinggung, marah, tidak bisa tidur;
c)      Khawatir, sangat sedih;
d)     Flashbacks berulang (ingatan terhadap peristiwa yang selalu datang berulang dalam pikiran);
e)      Menangis, rasa bersalah;
f)       Kesedihan;
g)      Reaksi positif termasuk pikiran terhadap masa depan;
h)      Menerima bencana sebagai suatu takdir.
Semua itu adalah reaksi alamiah Dan hanya membutuhkan intervensi psikososial.
(Kementerian Kesehatan, 2011)
3)        Minggu Ketiga
Menurut Kharismawan (2008) setelah situasi telah stabil, perhatian beralih ke solusi jangka panjang. Disisi lain, euforia bantuan mulai menurun, sebagian sukarelawan sudah tidak datang lagi dan bantuan dari luar secara bertahap berkurang. Para penyintas mulai menghadapi realitas. Jika pada minggu-minggu pertama setelah bencana, penyintas mungkin akan melalui fase "bulan madu", ditandai dengan perasaan yg aman dan optimisme tentang masa depan. Tetapi dalam tahap pemulihan, mereka harus membuat penilaian yang lebih realistis tentang hidup mereka. Pada fase ini  kekecewaan dan kemarahan sering menjadi gejala dominan yang  sangat terasa.
Reaksi yang sebelumnya ada dapat menetap dengan gejala seperti:
a)      gelisah;
b)      perasaan panik;
c)      kesedihan yang mendalam dan berlanjut, pikiran pesimistik yang tidak realistik;
d)     tidak melakukan aktivitas keluar, isolasi, perilaku menarik diri;
e)      ansietas atau kecemasan dengan manifestasi gejala fiisk seperti palpitasi, pusing, mual, lelah, sakit kepala.
Reaksi ini tidak perlu diperhitungkan sebagai gangguan jiwa. Gejala ini dapat diatasi oleh tokoh masyarakat yang telah dilatih agar mampu memberikan intervensi psikologik dasar.
(Kementerian Kesehatan, 2011)
4)      Gejala Pasca Trauma
Menurut Kharismawan (2008) pada tahap akhir pada tiga minggu atau lebih setelah bencana berbagai gejala pasca-trauma muncul, misalnya Pasca Trauma Stress Disorder, Disorder Kecemasan Generalized, Abnormal Dukacita, dan Post Traumatic Depresi.
a)        Akut  Stress Paska Trauma. Gejala-gejala dibawah ini adalah normal, sebagai reaksi atas kejadian yang tidak normal (traumatik). Biasanya gejala-gejala diawah ini akan menghilang seiring dengan berjalannya waktu. 
(1)     Emosi. Mudah menangis ataupun kebalikkannya yakni mudah marah, emosinya labil, mati rasa dan kehilangan minat untuk melakukan aktivitas, gelisah, perasaan ketidakefektifan, malu dan putus asa.
(2)     Pikiran. Mimpi buruk, mengalami halusinasi ataupun disasosiasi, mudah curiga (pada penyintas kasus bencana karena manusia), sulit konsentrasi, menghindari pikiran tentang bencana dan menghindari tempat, gambar, suara mengingatkan penyintas bencana; menghindari pembicaraan tentang hal itu
(3)     Tubuh. Sakit kepala, perubahan siklus mensruasi, sakit punggung, sariawan atau sakit magh yang terus menerus sakit kepala, berkeringat dan menggigil, tremor, kelelahan, rambut rontok, perubahan pada siklus haid, hilangnya gairah seksual, perubahan pendengaran atau penglihatan, nyeri otot
(4)     Perilaku. Menarik diri, sulit tidur,  putus asa, ketergantungan, perilaku lekat yang berlebihan atau penarikan social,  sikap permusuhan, kemarahan,  merusak diri sendiri,  perilaku impulsif  dan  mencoba bunuh diri
b)        Post Trauma Stress Disorder (PTSD), meliputi:
Jika setelah lebih dari dua bulan gejala gejala di atas (ASPT) masih ada maka, maka dapat diduga mengalami PTSD, jika memunjukkan gejala ini selepas 2 bulan dari kejadian bencana:
(1)      Reecperience atau mengalami kembali. Penyintas sekan mengalami kembali peristiwa traumatic yang mengganggu; misalnya melalui mimpi buruk  setiap tidur,  merasa mendengar, melihat kembali kejadian yang berhubungan dengan bencana, dalam pikirannya kejadian bencana terus menerus sangat hidup, apapun yang dilakukan tidak mampu mengalihkan pikirannya dari bencana.   Pada anak-anak korhan konflik senjata, mereka  bermain perang-perangan berulang-ulang. 
(2)      Avoidance, atau menghindar hal-hal yang berkaitan dengan ingatan akan bencana, misalnya menghindari pikiran atau perasaan atau percakapan tentang bencana; menghindari aktivitas, tempat, atau orang yang mengingatkan penyintas dari trauma, ketidakmampuan untuk mengingat bagian penting dari bencana, termenung terus dengan tatapan dan pikiran  yang kosong
(3)      Hyperarusal,  atau rangsangan yang berlebihan. Misalnya kesulitan tidur; sangat mudah marah atau kesulitan berkonsentrasi; jantung mudah berdebar-debar, keringat  dingin, panik dan nafas terengah-engah saat teringat kejadian, kesulitan konsentrasi dan mudah terkejut.
c)        Generalized Anxiety Disorder: meliputi:
Kecemasan yang berlebihan dan khawatir tentang berbagai peristiwa ataupun kegiatan (tidak terbatas bencana). Cemas berlebihan saat air tidak mengalir, seseorang tidak muncul tepat waktu
d)       Dukacita Eksrim: Biasanya, setelah kematian orang yang dicintai. Seringkali respon pertama adalah penyangkalan. Kemudian, mati rasa dan kadang kemarahan.
5)      Kasus yang Perlu Dirujuk
Menurut (Kemenkes RI, 2014) kriteria kasus yang perlu dirujuk :
(a)    Kasus-kasus ganguan mental yang telah diketahui sebelumnya
(b)   Korban dengan gejala-gejala psikologis tidak memperlihatkan perubahan setelah 3 minggu  dilakukan tindakan oleh perawat
(c)    Korban yang mengalami disfungsi
(d)   Korban yang berniat bunuh diri
(e)    Penyalahgunaan alkohol obat-obatan
(f)    Kekerasan fisik dalam keluarga
(g)   Kelompok resiko tinggi
2.2.4   Dampak Psikologis Bencana pada Komunitas
Bencana tidak hanya berdampak pada pribadi tapi juga pada komunitas. Paska  bencana dapat saja tercipta masyarakat yang mudah meminta (padahal sebelumnya adalah pekerja yang tangguh), masyarakat yang saling curiga (padahal sebelumnya saling peduli), masyarakat yang mudah melakukan kekerasan (padahal sebelumnya cinta damai). Bencana yang tidak ditangani dengan baik akan mampu merusak nilai-nilai luhur yang sudah dimiliki masyarakat (Kharismawan, 2008).
Saat penyintas dipaksa untuk meninggalkan tanah mereka dan bermigrasi di tempat lain, tanpa pelatihan dan bekal yang memadai, tidak hanya kehidupan mereka yang terancam, namun juga identitas dirinya. Mereka dipaksa menjadi peladang padahal sepanjang hidupnya adalah nelayan, ataupun sebaliknya. Sebagai akibat jangka panjangnya, konflik perkawinan meningkat, kenaikan tingkat perceraian pada tahun-tahun setelah bencana dapat terjadi da juga meningkatnya kekerasan intra-keluarga (kekerasan pada anak dan pasangan) (Kharismawan, 2008).
Bantuan yang tidak terorganisir dan menempatkan penyintas sebagi objek pada akhirnya, sama menghancurkannya dengan efek psikologis individual. Pemberian bantuan yang tidak terpola menempatkan penyintas sebagai objek yang tidak berdaya, pada akhirnya merusak etos kerja mereka dan terjadi ketergantungan pada pemberi bantuan (Kharismawan, 2008).
Bencana fisik bisa menghancurkan lembaga masyarakat, seperti sekolah dan komunitas agama, atau dapat mengganggu fungsi mereka karena efek langsung dari bencana pada orang yang bertanggung jawab atas lembaga-lembaga, seperti guru atau imam.  Saat guru, tokoh adat atau tokoh agama menjadi penyintas dari bencana dan tidak dapat mejalankan fungsinya, maka sarana dukungan sosial dalam komunitas menjadi terganggung. Beberapa penelitian menunjukkan meningkatnya kekerasan, agresi,  penggunaan  narkoba dan alcohol pada saat sistem masyarakat tidak berjalan dengan baik. Oleh karena itu beberapa lembaga keagamaan merespon cepat, dengan mengirim ustad-ustad, pendeta atau tokoh agama lainnya ke daerah bencana. Para tokoh agama memberikan kontribusi penting untuk menghidupkan  kembali aktivitas dan ritual agama (Kharismawan, 2008).

2.3  Tindakan Keperawatan Kesehatan Mental
Pada bencana aspek kesehatan jiwa merupakan aspek yang penting karena pada saat bencana terjadi perubahan situasi dari situasi normal ke situasi tidak normal dimana seseorang akan mengalami kehilangan yang berdampak pada terganggunya keseimbangan kondisi psikologis seseorang (Kementerian Kesehatan, 2011).
Prinsip tindakan untuk mengatasi krisis sesuai dengan tiga faktor penyeimbang tersebut yaitu membina hubungan saling percaya yang erat dengan penyintas, menggali permasalahan yang dialami penyintas dan mengembangkan pemecahan masalah (Kemenkes RI, 2014)
Menurut Kementerian Kesehatan (2011) Dalam memberikan intervensi untuk kesehatan jiwa pada penanggulangan bencana terdapat fasefase seperti berikut, antara lain:
2.3.1  Fase Kedaruratan Akut;
1)      Intervensi Sosial
Selama Fase kedaruratan akut dianjurkan untuk melakukan intervensi sosial yang tidak mengganggu kebutuhan akut, seperti pengadaan makanan, tempat berlindung, pakaian, pelayanan puskesmas dan mungkin penanggulangan penyakit menular. Intervensi sosial dini yang berharga, mencakup :
a)      menjamin dan menyebarkan arus informasi yang kredibel tentang;
(1)   kedaruratan;
(2)   upaya menjamin keselamatan fisik masyarakat;
(3)   informasi upaya bantuan;
termasuk apa yang dilakukan oleh masingmasing organisasi kemanusiaan dan dimana lokasinya;
(4)   keberadaan kerabat untuk mendorong penyatuan keluarga dan jika mungkin menyediakan akses komunikasi dengan kerabat di tempat jauh.
Informasi harus disebarkan menurut prinsip komunikasi resiko : yaitu informasi harus sederhana (dapat dimengerti oleh penduduk lokal diatas 12 tahun) dan empatik (menunjukkan pemahaman akan situasi survivor bencana).
b)      mengorganisasi pelacakan keluarga untuk anak yang sendirian, lansia dan kolompok rentan lain
c)      memberikan pengarahan kepada petugas lapangan dari sector kesehatan, distribusi pangan, kesejahteraan sosial dan pendataan tentang halhal yang menyangkut berkabung, disorientasi dan kebutuhan untuk partisipasi aktif;
d)     mengorganisasi penampungan dengan tujuan agar anggota keluarga dan masyarakat tetap berkumpul bersama;
e)      berkonsultasi kepada masyarakat mengenai keputusan dimana akan ditempatkan sarana ibadah, sekolah dan suplai air di penampungan. menyediakan ruang untuk kegiatan agama, rekreasi dan kebudayaan dalam desain kamp;
f)       jika dimungkinkan, tidak dianjurkan untuk penguburan jenazah tanpa upacara demi pengendalian penyakit menular. berlawanan dengan mitor, jenasah tidak atau sedikit berisiko untuk penyakit menular. mereka yang berkabung perlu untuk mengadakan upacara pemakaman dan apabila jenazah tidak termutilasi atau membusuk juga untuk melihat jenazah untuk mengucapkan selamat jalan. sertifikat kematian perlu diadakan untuk mencegah adanya akibat keuangan dan hukum yang tidak perlu dipihak kerabat;
(Kementerian Kesehatan, 2011).
2)      Intervensi Psikologik
Intervensi psikologik dalam fase akut : Tindakan yang dapat dilakukan segera (24 jam) setelah bencana
a)      Nilai dengan cermat
(1)   Kerusakan lingkungan yang terjadi
(2)   Jenis cedera yang dialami
(3)   Penderitaan yang dialami
(4)   Kebutuhan dasar yang harus dipenuhi segera (Kemenkes RI, 2014)
b)      Pada tahap ini yang perlu dilakukan segera adalah:
(1)   Pertolongan kedaruratan untuk masalah-masalah fisik
(2)   Memenuhi kebutuhan dasar
(3)   Untuk membantu individu melalui fase krisisnya maka perawat perlu memfasilitasi kondisi yang dapt menyeimbangkan krisis seperti menjadi sumber koping (support system) bagi klien (Kemenkes RI, 2014).
c)      Membuat kontak dengan puskesmas atau pelayanan darurat di area setempat.
Menangani keluhan psikiatrik yang mendesak (misalnya keberbahayaan terhadap diri sendiri atau orang lain, psikosis, depresi berat, mania dan epilepsy) di Puskesmas tanpa melihat apakah puskesmas tersebut dijalankan oleh pemerintah atau LSM. Menjaga ketersediaan obat psikotropik esensial di Puskesmas. Banyak orang dengan keluhan psikiatrik yang mendesak mempunyai gangguan psikiatrik yang sudah ada sebelumnya dan terputusnya medikasi harus dihindari. Sebagai tambahan, sebagian orang mungkin mencari pengobatan karena masalah kesehatan mental akibat terpapar stressor yang ekstrim. Kebanyakan masalah kesehatan mental akut selama fase kedaruratan akut paling baik ditangani tanpa medikasi dengan mengikuti prinsip “pertolongan pertama psikologik” (yaitu, mendengarkan, menyatakan keprihatinan, menilai kebutuhan, menjaga terpenuhinya kebutuhan fisik dasar dan tidak memaksa berbicara, menyediakan atau mengerahkan pendamping dari keluarga atau orang yang dekat, mendorong tetapi tidak memaksakan dukungan social, melindungi dari cedera lebih lanjut (Kementerian Kesehatan, 2011).
d)     Dengan mengasumsikan adanya pekerja masyarakat relawan/non relawan, mengorganisasikan dukungan emosional yang tidak bersifat intrusive dan menjangkau masyarakat dengan menyediakan, jika perlu “pertolongan pertama psikologik” karena kemungkinan efek negative tidak dianjurkan untuk mengadakan debriefing psikologik sesi tunggal (single session psychological debriefing ) yang memaksa orang untuk berbagi pengalaman pribadi melebihi yang akan dilakukan secara  alami (Kementerian Kesehatan, 2011)
e)      Jika fase akut berkepanjangan, mulai pelatihan dan supervise pekerja Yankes Primer dan pekerja kemasyarakatan (Kementerian Kesehatan, 2011)
2.3.2  Fase rekonsiliasi;
1)      Intervensi sosial
Berikut ini saran tentang aktivitas intervensi sosial :
a)      melanjutkan intervensi sosial yang relevan
b)      mengorganisasi kegiatan psikoedukasi yang menjangkau ke masyarakat untuk memberi edukasi tentang ketersediaan pilihan pelayanan kesehatan mental. dilakukan tidak lebih awal dari empat minggu setelah fase akut, beri penjelasan dengan hatihati tentang perbedaan psikopatologi dan distress psikologik normal, dengan menghindari sugesti adanya psikopatologi yang luas dan menghindari istilah atau idiom yang membawa stigma;
c)      mendorong dilakukannya cara coping yang positif yang sudah ada sebelumnya. informasi itu harus menekankan harapan terjadinya pemulihan alamiah;
d)     dengan berlalunya waktu, jika kemiskinan adalah masalah yang berlanjut, dorong upaya pemulihan ekonomi. Contoh inisiatif semacam ini adalah
(1)   skema kredit mikro;
(2)   aktifitas yang mendatangkan penghasilan jika pasar lebih menjanjikan sumber penghasilan yang berkelanjutan.
2)      Intervensi Psikologik
a)      Lakukan aktifitas rekreasi bagi anak-anak
b)      Informasikan pada korban tentang reaksi psikologis normal yang terjadi setelah bencana. Yakinkan mereka bahwa hal tersebut normal dan berlangsung sementara; akan hilang dengan sendirinya dan dialami oleh semua orang. Informasikan tentang reaksi stres yang normal pada masyarakat secara massal (libatkan ulama, guru dan pemimpin sosial lainnyal). Bantu melakukan manajemen stres secara individu, keluarga maupun kclompok.
c)      Motivasi para korban untuk bekerja bersama memenuhi kebutuhan mereka seperti membersihkan lokasi bersama-sama, memasak bersama.
d)     Libatkan korban yang masih selibat dalam pelaksanaan bantuan
e)      Motivasi pemimpin masyarakat dan tokoh kunci lainnya untuk terlibat dalam diskusi kelompok dan dapat memotivasi klien untuk berbagi perasaan
f)       Pastikan informasi yang diterima akurat
g)      Pastikan distribusi bantuan merata
h)      Berikan pelayanan dengan “empati yang sehat” dan tidak memihak pada salah satu bagian dari masyarakat (misalnya golongan minoritas).
i)        mendorong kebali dilakukannya aktifitas budaya dan keagamaan yang normal (termasuk upacara berkabung dalam kerja sama dengan praktisi spiritual dan agama);
j)        mendorong aktifitas yang menfasilitasi masuknya yatimpiatu, jandaduda atau orang yang sebatang kara kedalam jejaring social;
k)      mendorong pengorganisasian aktivitas rekreasional normal untuk anakanak. penyedia bantuan harus berhatihati untuk tidak memberikan keperluan rekreasi (misalnya seragam sepak bola, mainan modern) yang dianggap mewah dalam konteks lokal sebelum kedaruratan;
l)        mendorong dimulainya sekolah untuk anakanak, meskipun tidak penuh;
m)    melibatkan orang dewasa dan remaja dalam kegiatan yang konkret, bertujuan dan diminati bersama (misalnya membangun tempat penampungan, mengorganisasi pelacakan keluarga, pembagian makanan, mengorganisasi vaksinasi, mengajar anakanak);
n)      menyebarkan secara luas informasi yang sederhana, menenteramkan dan empatik tentang reaksi stress normal kepada masyarakat luas, pertemuan dengan pers, siaran radio, poster dan selebaran yang singkat dan tidak bersifat sensasional akan berguna untuk menenteramkan masyarakat.
2.3.3  Fase Rekonsolidasi
1)      Intervensi Sosial
a)      Melanjutkan intervensi sosial yang relevan
b)      Mengorganisasi kegiatan psikoedukasi yang menjangkau ke masyarakat untuk memberi pendidikan tentang ketersediaan pilihan pelayanan kesehatan jiwa. Dilakukan tidak lebih awal dari empat minggu setelah fase akut, beri penjelasan dengan hatihati tentang perbedaan psikopatologi dan distres psikologik normal, dengan menghindari sugesti adanya psikopatologi yang luas dan menghindari istilah atau idiom yang membawa stigma.
c)      Mendorong dilakukannya cara coping mechanism yang positif yang sudah ada sebelumnya. Informasi itu harus menekankan harapan terjadinya pemulihan alamiah.
d)     Melatih petugas kemanusiaan lain dan pemuka masyarakat (misalnya kepala desa, guru dll.) dalam ketrampilan inti perawatan psikologik (seperti 'pertolongan pertama psikologik', dukungan emosional, menyediakan informasi, penenteraman yang simpatik, pengenalan masalah kesehatan mental utama) untuk meningkatkan pemahaman
2)      Intervensi Psikologik
Dalam hal intervensi psikologik selama fase rekonsolidasi, dianjurkan melakukan aktifitas berikut :
a)      mendidik pekerja kemanusiaan lain dan pemuka masyarakat (misalnya kepala desa, guru, dll) dalam ketrampilan inti perawatan psikologik, seperti :
(1)   pertolongan pertama psikologik;
(2)   dukungan emosional;
(3)   menyediakan informasi;
(4)   penentraman yang simpatik;
(5)   pengenalan masalah kesehatan mental utama.
untuk meningkatkan pemahaman dan dukungan masyarakat dan untuk merujuk orang ke Puskesmas jika diperlukan.
b)      melatih dan mensupervisi pekerja Pelayanan Kesehatan Primer dalam pengetahuan dan ketrampilan dasar kesehatan mental, misalnya :
(1)   pemberian medikasi psikotropik yang tepat;
(2)   pertolongan pertama psikologi;
(3)   konseling suportif;
(4)   bekerja bersama keluarga;
(5)   mencegah bunuh diri;
(6)   penatalaksanaan keluhan somatic yang tak dapat dijelaskan;
(7)   masalah penggunaan zat;
(8)   rujukan.
c)      menjamin kesinambungan medikasi penyintas psikiatrik yang mungkin tidak mempunyai akses terhadap medikasi selama fase kedaruratan akut;
d)     melatih dan mensupervisi pekerja komunitas (misalnya pekerja bantuan, konselor) untuk membantu Yankes Primer yang beban kerjanya berat. Pekerja komunitas dapat terdiri dari relawan, para professional atau professional, tergantung keadaan. Pekerja komunitas perlu dilatih dan disupervisi dengan baik dalam berbagai ketrampilan inti :
(1)   penilaian persepsi individual, keluarga dan kelompok tentang masalah yang dihadapi, pertolongan pertama psikologik, menyediakan dukungan emosional, konseling perkabungan (grief counseling)
(2)   manajemen stress “konseling pemecahan masalah”
(3)   memobilisasi sumber daya keluarga dan masyarakat serta rujukan
e)      bekerja sama dengan penyembuh tradisional (traditional healers) jika mungkin. dalam beberapa keadaan dimungkinkan kerja sama antara praktisi tradisional dan kedokteran;
f)       menfasilitasi terbentuknya kelompok dukungan tolong diri yang berbasis komunitas. Fokus dari kelompok tolong diri ini biasanya berbagi pengalaman dan masalah, curah pendapat untuk solusi atau cara yang lebih efektif untuk coping (termasuk caracara tradisional), menimbulkan dukungan emosional timbal balik dan kadang kala menimbulkan inisiatif di tingkat masyarakat.
 
2.1  Pemulihan Individu dan Keluarga
Asuhan Individu dan Keluarga
2.6.1  Pengkajian
1)      Menampilkan pengkajian cepat saat situasi bencana dan kebutuhan-kebutuhan asuhan keperawatan.
2)      Melakukan pengkajian yang tepat usia dan riwayat kesehatan termasuk penanganan fisik dan psikologis terhadap bencana.
3)      Mengenali gejala-gejala penyakit menular (communicable disease) dan mengambil langkah-langkah untuk mengurangi penyebaran terhadap korban.
4)      Mengambarkan tanda dan gejala terpapar zat kimia, biologi, radiologi, nuklir, dan bahan peledak.
5)      Mengidentifikasi pola atau pengelompokkan yang tidak biasa dari suatu penyakit atau cidera yang mungkin mengindikasi terpapar zat biologi atau zat lainnya yang berhubungan dengan bencana.
6)      Menentukan kebutuhan untuk dekontaminasi, isolasi atau karantina dan mengambil langkah yang tepat.
7)      Mengenali kebutuhan kesehatan mental responder dan memberi rujukan yang tepat.
(WHO, 2009)
2.6.2  Implementasi
1)      Melaksanakan intervensi keperawatan yang tepat termasuk perawatan trauma dan kegawatdaruratan sejalan dengan prinsip-prinsip ilmiah yang dapat diterima.
2)      Mengaplikasi kemampuan berpikir kritis, fleksibel dan kreatif untuk memberikan solusi yang mendukung asuhan keperawatan untuk memenuhi kebutuhan klien yang teridentifikasi dan diantisipasi dari bencana.
3)      Mengaplikasi prinsip triase yang dapat diterima ketika memulai asuhan berdasarkan pada situasi bencana dan sumber yang tersedia.
4)      Mengadaptasi standar praktik keperawatan sesuai dengan yang dibutuhkan berdasarkan pada sumberyang tersedia dan kebutuhan perawatan penyintas.
5)      Menciptakan lingkungan yang aman bagi penyintas.
6)      Mempersiapkan psien untuk dipindahkan dan mendukung keselamatan penyintas pada saat dipindahkan.
7)      Menampilkan pemberian obat, vaksin dan imunisasi yang aman.
8)      Menerapkan prinsip-prinsip pengontrolan infeksi untuk mencegah penyebaran penyakit.
9)      Mengevaluasi keberhasilan intervensi keperawatan dan merevisi asuhan yang dibutuhkan.
10)  Memberikan asuhan dalam situasi yang tidak memihak.
11)  Mempertahankan keselamatan diri dan orang lain pada saat bencana.
12)  Menjaga dakumen sejalan dengan prosedur penanganan bencana.
13)  Menyediakan asuhan yang merefleksikan latar belakang keragaman budaya, social dan spiritual dari indiidu.
14)  Mengelola asuhan dalam rangka menghargai keyakinan budaya, social, dan spiritual masyarakat ketika situasi memungkinkan.
15)  Mengelola aktivitas pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan lainnya.
16)  Bekerja dengan individu dan lembaga yang tepat untuk membantu korban bencana menemukan kembali anggota keluarga atau orang yang disayanginya.
17)  Melindungi para responder untuk dapat mengakses pelayanan kesehatan.
18)  Rujuk korban ke kelompok atau lebaga lain jika dibutuhkan.
(WHO, 2009)
2.6.3  Pemulihan Individu dan Keluarga
1)      Mengembangkan rencana untuk memenuhi kebutuhan keperawatan fisik dan psikologis jangka pendek dan jangka panjang para korban selamat.
2)      Mengidentifikasi perubahan kebutuhan para korban selamat dan merevisi rencana asuhan seperti yang dipersyaratkan.
3)      Merujuk para korban selamat dengan kebutuhan tambahan kepada organisasi atau spesialis yang tepat.
4)      Mengajarkan para korban selamat strategi pencegahan penyakit dan cedera.
5)      Membantu fasilitas/saran pelayanan kesehatan setempat dalam pemulihan.
6)      Berkolaborasi dengan pelayanan kesehatan masyarakat yang sudah ada untuk pemeliharaan dan pelayanan kesehatan.
7)      Berfungsi sebagai advokat bagi para korban selamat dalam pemenuhan kebutuhan jangka panjang.
(WHO, 2009)
2.6.4  Asuhan Psikologis
1)      Menggambarkan fase-fase respon psikologis dan respon perilaku yang diharapkan terhadap bencana.
2)      Memahami dampak psikologis bencana pada orang dewasa.
3)      Menyediakan dukungan psikologis yang tepat  kepada korban selamat dan para responder.
4)      Menggunakan hubungan terapeutik secara efektif dalam situasi bencana.
5)      Mengidentifikasi respon perilaku individu terhadap bencana dan menyediakan intervensi yang tepat jika diperlukan (seperti pertolongan pertama psikologi)
6)      Membedakan antara respon yang adaptif dan mal adaptif terhadap bencana.
7)      Menerapkan intervensi kesehatan mental yang tepat dan memulai rujukan yang diperlukan.
8)      Mengidentifikasi strategi koping yang tepat bagi korban selamat, keluarga dan para responder.
9)      Mengidentifikasi korban dan para responder yang menbutuhkan bantuan/dukungan keperawatan kesehatan mental tambahan dan rujuk ke sumber daya yang tepat.
(WHO, 2009)
2.6.5  Aktivitas Pemulihan Individu dan Keluarga
Menurut Kemenkes RI (2014) pemulihan individu dan keluarga dilakukan dengan:
1)      Mengembangkan rencana untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek dan jangka panjang.
2)      Pemenuhan kebutuhan fisik diantaranya berfokus dalam memenuhi kebutuhan akan makanan, eliminasi, kebersihan, mobilisasi, kondisi kesehatan. Sementara pemenuhan kebutuhan psikologis berfokus pada kesehatan mental dan kebutuhan akan informasi.
3)      Mengidentifikasi perubahan kebutuhan korban dan memperbaiki asuhan keperawatan
4)      Mengidentifikasi perubahan kebutuhan korban berdasarkan hasil pengkajian fisik dan psikologis serta memodifikasi intervensi keperawatan. Contoh seorang survivor yang mengalami amputasi dan melakukan mobilisasi yang digunakan harus menyesuaikan dengan kondisi lingkungannya. Contoh lainnya adalah menyesuaikan bentuk makanan yang diberikan pada korban dengan usia lansia ataupun balita agar tidak terjadi gangguan nutrisi.
5)      Merujuk korban bencana dengan kebutuhan khusus ke spesialisasi atau organisasi
6)      Survivor dengan kebutuhan khusus umumnya merupakan korban bencana yang mengalami disability akibat bencana seperti fraktur, cedera kepala, cedera spinal, amputasi. Survivor dengan kebutuhan khusus ini memerlukan rujukan ke berbagai tim kesehatan untuk memulihkan fisik dan psikologis korban dan mempersiapkan agar mereka dapat kembali ke kehidupannya mendekati konsis sebelum bencana terjadi. Pemenuhan kebutuhan khusus bagi survivor juga harus memperhatikan perkembangan kondisi dan lingkungan di daerah bencana.
7)      Mengajarkan korban strategi pencegahan penyakit dan injuri pada daerah pengungsian, perawat mengembangkan strategi untuk mencegahpenyakit dan injuri dengan memperhatikan kebersihan individu dan lingkungan termasuk dalam hal pemenuhankebutuhan eliminasi, agar tidak timbul wabah sekunder akibat situasi yang buruk ataupun kondisi lingkungan yang buruk akibat bencana.
8)      Membantu pemulihan fasilitas pelayanan kesehatan local
9)      Dalam situasi bencana fasilitas kesehatan mengambil peran penting dalam pemberian pelayanan kesehatan dan sekaligus sebagai pusat informasi bagi survivor pada saat bencana.
10)  Survivor menggunakan pusat pelayanan kesehatan untuk segala bentuk informasi seperti mencari anggota keluarga yang hilang.
11)  Melakukan kolaborasi dengan pelayanan kesehatan komunita syang tersedia untuk memberikan pelayanan kesehatan
12)  Perawat dapat melakukan kolaborasi dengan pusat pelayanan kesehatan yang tersedia di komunitas untuk memberikan pelayanan kesehatan yang lebih optimal. Kegiatan yang dilakukan diantaranya dapat berupa alokasi bantuan tenaga kesehatan.
13)  Memberikan advokasi kepada korban bencana dalam pemenuhan kebutuhan jangka panjang
14)  Advokasi diberikan dalam memulihkan kemampuan individu dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan secara mandiri.kebutuhan tersebut meliputi kebutuhan fisik dan psikologis pasca bencana. Individu harus mampu berperan aktif dalam perencanaan pemenuhan kebutuhan jangka panjang. Advokasi dapat berupa pemberian pendidikan kesehatan pada individu.

2.2  Pemulihan Masyarakat
2.7.1  Tujuan
Tujuan dari memberikan pelayanan saat fase pemulihan adalah membantu masyarakat yang terkena bencana untuk mengatur/memanaj pemulihannya sendiri. Dalam memberikan pelayanan pada fase pemulihan harus memperhatikan 6 konsep, yaitu:
1)      Memahami konteks
2)      Mengenali kompleksitas
3)      Menggunakan pendekatan masyarakat terpimpin (community led-approaches)
4)      Memastikan adanya koordinasi untuk semua aktvitas
5)      Menerapkan komunikasi yang efektif
6)      Acknowledging and building capacity (Kemenkes RI, 2014).
2.7.2  Asuhan Komunitas
1)      Menggambarkan fase-fase penanganan masyarakat pada saat bencana dan pengaruhnya terhadap intervensi keperawatan.
2)      Mengumpulkan data yang diperlukan, berkaitan dengan jumlah cidera dan angka kesulitan.
3)      Mengevaluasi kebutuhan kesehatan dan sumber yang tersedia pada area yang terkena bencana untuk memenuhi kebutuhan dasar dari masyarakat.
4)      Bekerja sama dengan kelompok penanganan bencana untuk menurunkan bahaya dan resiko daerah yang terkena bencana.
5)      Memahami bagaimana memprioritaskan pelayanan dan mengelola berbagai macam situasi.
6)      Berpartisipasi dalam strategi pencegahan dan seperti kegiatan imunisasi massal.
7)      Bekerja sama dengan lembaga bantuan dalam memenuhi kebutuhan dasar masyarakat (seperti: tempat penampungan, makanan, air, dan pelayanan kesehatan).
8)      Menyediakan pendidikan berbasis masyarakat yang berkaitan dengan pengaruh kesehatan bencana.
9)      Mengevaluasi pengaruh intervensi keperawatan pada berbagai macam populasi/masyarakat dan budaya, dan penggunaan hasil evaluasi untuk membuat evidence-based decisions.
10)  Mengelola sumber daya dan pembekalan yang dibutuhkan untuk mendukung pelayanan di masyarakat.
11)  Berpartisipasi secara efektif sebagai bagian dari kelompok multidisiplin.
(WHO, 2009)
2.7.3  Aktifitas pada pemulihan komunitas meliputi:
1)      Mengumpulkan data yang berhubungan dengan respon bencana sebagai evaluasi.
2)      Melakukan evaluasi sebagai respon dan praktik keperawatan selama bencana dan melakukan kolaborasi dengan organisasi keperawatan untuk mengatasi masalah yang terjadi dan memperbaiki respon yang akan datang.
3)      Berpartisipasi dalam menganalisis data yan berfokus pada peningkatan respon bencana.
4)      Mengidentifikasi hal-hal yang membutuhkan perbaikan dan mengkomunikasikan ke pihak-pihak terkait.
5)      Membantu komunitas dalam proses transmisi dari fase respon disaster/emergensi melalui proses pemulihan dan rehabilitasi ke fungsi normal.
6)      Berbagi informasi tentang sumber-sumber referral yang digunakan dalam disaster.
7)      Membantu dalam mengembangkan strategi pemulihan yang meningkatkan kualitas hidup bagi komunitas.
8)      Melakukan kolaborasi dengan grup dan agen untuk mendirikan kembali pelayanan kesehatan dalam komunitas.
(Kemenkes RI, 2014).

2.1  Aspek Legal Psikologis Bencana
Aspek legal dalam psikologis bencana, yaitu:
2.6.1  PP No. 21 Tahun 2008
Pasal 68
1)      Pemulihan sosial psikologis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) huruf d ditujukan untuk membantu masyarakat yang terkena dampak bencana, memulihkan kembali kehidupan sosial dan kondisi psikologis pada keadaan normal seperti kondisi sebelum bencana.
2)      Kegiatan membantu masyarakat terkena dampak bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui upaya pelayanan sosial psikologis berupa:
a. bantuan konseling dan konsultasi keluarga;
b. pendampingan pemulihan trauma; dan
c. pelatihan pemulihan kondisi psikologis.
3)      Pelayanan sosial psikologis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh instansi/lembaga yang terkait secara terkoordinasi dengan BPBD.
2.6.2  Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) nomor 11 tahun 2008, yaitu Pemulihan Sosial Psikologis
Cakupan
Pengertian :
a)      Yang dimaksud pemulihan sosial psikologis adalah pemberian bantuan kepada masyarakat yang terkena dampak bencana agar dapat berfungsi kembali secara normal.
b)      Yang dimaksud dengan kegiatan psikososial adalah kegiatan mengaktifkan elemen-elemen masyarakat agar dapat kembali menjalankan fungsi sosial secara normal. Kegiatan ini dapat dilakukan oleh siapa saja yang sudah terlatih.
c)      Yang dimaksud dengan kegiatan intervensi psikologis adalah pemberian pertolongan kepada masyarakat untuk meringankan beban psikologis akibat bencana dan mencegah terjadinya dampak psikologis lebih lanjut yang mengarah kepada gangguan mental. Intervensi diberikan oleh profesional.
d)     Bantuan konseling dan konsultasi keluarga adalah pemberian pertolongan kepada individu atau keluarga untuk melepaskan ketegangan dan beban psikologis secara terstruktur.
e)      Pendampingan pemulihan trauma adalah pendampingan terstruktur dengan berbabagai metode terapi psikologis yang tepat kepada individu yang mengalami trauma psikologis agar dapat berfungsi secara normal kembali.
f)       Pelatihan pemulihan kondisi psikologis adalah pelatihan untuk pemuka komunitas, relawan dan pihak-pihak yang ditokohkan/mampu dalam masyarakat untuk memberikan dukungan psikologis kepada masyarakatnya.
g)      Pemulihan sosial psikologis bertujuan agar masyarakat mampu melakukan tugas sosial seperti sebelum terjadi bencana, serta tercegah dari mengalami dampak psikologis lebih lanjut yang mengarah pada gangguan kesehatan mental




DAFTAR PUSTAKA

Dalami, E. (2009). Buku Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta: TIM.
Keliat, B. A. (2005). Keperawatan jiwa: Terapi aktivitas kelompok. EGC, Jakarta.
Kemenkes RI. (2014). Modul Keperawatan Bencana Dasar. Jakarta: Badan PPSDM Kesehatan.
Kementerian Kesehatan, R. (2011). Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana.
Khambali, I., & ST, M. (2017). Manajemen Penanggulangan Bencana. Penerbit Andi.
Kharismawan, K. (2008). Panduan program psikososial paska bencana. Semarang: Center For Trauma Recovery Unika Soegijapranata.
Mubarak, W. I. (2007). Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: EGC.
Poltekkes Kemenkes Bandung. (2015). Modul PPGD-B Nasional. Bandung.
Prabowo, E. (2014). Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.
Sobur, A. (2003). Psikologi umum dalam lintasan sejarah. Bandung: Pustaka Setia.
WHO, I. (2009). Kerangka Kerja ICN: kompetensi keperawatan bencana. Switzerland.

Respon Psikologis Pasca Bencana

2.1   Psikologis Bencana Bencana adalah peristiwa atau kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan kerusakan ekologi, kerug...