2.4
Pencegahan
Dasar Sindrom Pasca Bencana
Masalah kesehatan jiwa akibat bencana bervariasi
pada masing masing individu yang terkena. Beberapa masalah kesehatan jiwa pasca
kejadian traumatis (bencana): Reaksi
stres akut, berkabung, depresi, gangguan ansietas, PTSD, psikosis, gangguan
bipolar dan skizofrenia, gangguan penyesuaian, eksaserbasi gangguan jiwa
sebelumnya, penyalahgunaan zat, gangguan makan, dan gangguan tidur (Kemenkes RI, 2014).
Dalam mendampingi penyintas, pekerja kemanusiaan yang
bergerak di bidang psikososial sebaiknya memiliki ketrampilan-ketrampilan dasar
yang diperlukan untuk mendampingi mereka. Misalnya ketrampilan untuk
mendengarkan dan menenangkan atau meredakan emosi yang meledak-ledak,
ketrampilan memberikan emotional first aid, dan lainnya (Kharismawan, 2008).
1. Psychological First
Aid
|
Teknik menenangkan, defusing and debriefing, mengatasi kepanikan
|
2. Relaksasi dewasa
|
Otot: PMR,
Visualiasasi : tempat kedamaian, Pernafasan : terapi meta
|
3. Relaksasi anak
|
Otot: PMR anak Gua
Bertingkat, Menghalau Singa, Visualisasi: tempat rahasia, Pernafasan :
menghirup bunga, Sugesti : sensor tubuh
|
4. Kegiatan
rekreasional
|
Seni, Teater,
Olahraga, Bercerita, Permainan tradisional
|
5.
Terapi Ekspresif
|
Menulis, Menggambar
|
(Kharismawan,
2008)
2.4.1 Layanan Psikological First Aid
(PFA)
PFA merupakan serangkaian
keterampilan yang bertujuan untuk mengurangi dampak negatif mencegai timbulnya
gangguan kesehatan lebih buruk yang disebabkan oleh bencana atau situasi kritis
yang dihadapi. PFA juga merupakan
perawatan dasar yang bersifat praktis dan non-intrusive (pendekatan yang tidak
memaksa). Fokus pada mendengarkan mengenali dan yang signifikan di sekitar
penyintas, dan melindungi dari dampak negative lebih lanjut (Kemenkes RI, 2014).
Semakin cepat seorang penyintas mendapatkan pertolongan psikologis, maka
kemungkinan untuk mengalami gejala stres paska bencana semakin kecil. Defusing
dan Debrefing memberikan outlet bagi penyintas untuk mengeluarkan ketegangan dan kecemasan yang dialaminya. Teknik dalam psychological first
aid meliputi teknik menenangkan, defusing
and debriefing, mengatasi kepanikan (Kharismawan, 2008).
Kelebihan layanan ini adalah dapat
dilakukan oleh tenaga profesional kesehatan/kesehatan mental, relawan, atau
orang awam yang terlatih, dapat
diberikan dalam setting klinis dan non-klinis (Kemenkes RI, 2014).
a) Prinsip Dasar PFA
a)
Berikan bantuan segera mungkin langsung
pada penyintas.
b)
Sediakan informasi akurat dan logis tentang
situasi yang ada
c)
Bersikap jujur, jangan pernah
menjanjikan sesuatu yang tak bisa kita penuhi
d)
Sediakan dukungan emosional bagi
peyintas untuk pulih
e)
Fokus pada kemaupuan yang dimiliki
penyintas untuk pulih
(Kemenkes RI, 2014)
b) Tujuan
Tujuan pelayanan
ini adalah untuk :
a)
Mengurangi dampak regatif dari peristiwa
traumatis.
b)
Menguatkan kemampuan peyintas untuk
melakukan penyesuaian diri terhadap perubahan yang teriadi, baik dalam jangka
pendek maupun jangka panjang.
c)
Memperkuat proses pemulihan penyintas
(Kemenkes RI, 2014)
c) Tindakan pertolongan pertama
Menurut Kemenkes RI (2014) tindakan
pertolongan pertama pada masalah psikososial sebagai berikut :
a)
Identifikasi individu dengan koping yang
tidak efektif yang ditandai dengan gejala psikologis yang dilaporkan.
(1) Dalam
proses pemberian bantuan pada komunitas yang terkena dampak bencana,, penyedia layanan PFA harus memiliki
pengetahuan awal tentang bencana apa yang terjadi. Pengetahuan ini meliputi
jenis bencana, padatahap apa penanganan yang dilakukan tahap kedaruratan atau
pemulihan, kebutuhan penyintas serta bantuan apa yang dibutuhkan.
(2) Mengintegrasikan
layanan PFA ini kedalam struktur pemberian bantuan yang sudah ada.
(3) Penyedia
layanan PFA perlu memperhatikan keberadaan kelompok rentan dalam sebuah situasi
bencana.
b) Bina
hubungan saling percaya
Tindakan yang dilakukan adalah
Mcmperkenalkan Diri dan Memulai Kontak
Tujuan: Memperkenalkan diri dengan
cara yang membuat penyintas nyaman dan mendukung proses penulihan.
Lakukan:
(1)
Perkenalkan nama, pekerjaan, dan tugas
anda di daerah bencana kepada penyintas.
(2)
Mintalah ijin untuk melakukan
pembicaraan.
(3)
Sampaikan tentang tujuan keberadaan anda
di sana.
(4)
Tanyakan apa yang bisa anda lakukan
untuk dapat membantu
(5)
Jaga kerahasiaan informasi pribadi dari
penyintas. Jika anda ingin meneruskan informasi kepada pihak lain mintalah
persetujuan dari penyintas tersebut terlebih dahulu,
c)
Penuhi kebutuhan fisik yang mendesak
Tujuan:
mengembalikan rasa aman dan menyediakan kebutuhan dasar penyintas.
Mengembalikan
rasa aman menjadi tujuan penting pada saat setelah terjadinya bencana. Hal ini
dapat mengurangi stres dan kekhawatiran yang dirasakan oleh penyintas. Membantu
penyintas mengatasi situasi sulit seperti kehilangan orang yang dicintai,
mendapat kabar bahwa ada anggota keluarga yang meninggal, mendampingi yang anggota
keluarganya scdang mendapatkan perawatan serius merupakan gambaran situasi yang
akan dijumpai seorang penyedia layanan PFA.
Hal-hal yang
bisa dilakukan antara lain:
(1)
Pastikan keamanan peyintas dengan
membawanya ke tempat yang aman, hal ini akan meningkatkan kondisi fisik maupun
emosional dari para penyintas
(2)
Sediakan informasi tentang kegiatan
respon bencana yang ada beserta layanan-layanan yang tersedia. Informasi yang
terpercaya akan menghindarkan
(3)
Peyintas akan paparan informasi yang
menyesatkan atau akan menyebabkan penyintas merasa sedih yang berlebihan
(4)
Menfasilitasi kegiatan-kegiatan yang
mempromosikan kedekatan sosial. Pada saat bencana biasanya kedekatan sosial ini
terganggu karena penyintas terpisah dari keluarga, tetangga, atau orang-orang
yang dikenalnya. Tidak jarang mereka harus tinggal di tempat penampungan
sementara dengan orang-orang yang tidak mereka kenal sebelumnya. Kegiatan ini
misalnya, membuat kegiatan bermain anak difasilitasi orang orang tua atau
remaja dari tempat tersebut, membuat kelompok pengajian atau kelompok ibadah
bersama, membuat kelompok piket memasak atau piket kebersihan
(5)
Memberikan perhatian pada anak yang
terpisah dari orang tuanya. Bantu orang tua yang kehilangan anak untuk dapat
pencarian yang ada atau mengakses menginformasikan kehilangan anakanya kepada
para pihak yang terkait
(6)
Hindarkan penyintas dari situasi yang
menyebabkan atau mengingatkan akan pengalaman traumatik. Dalam situasi bencana
seperti ini, kita akan banyak menjumpai orang-orang dengan niat baik yang mungkin
tidak mengetahui atau menyadari bahwa apa yang mereka lakukan dapat merugikan
atau melukai orang yang ingin mereka hantu. Hal-hal itu antara lain seperti
menyarankan pada penyintas untuk menolak wawancara atau pembicaraan dengan
orang-orang tersebut jika mereka memang tidak ingin bercerita. Sampaikan pada
penyintas bahwa mereka berhak melakukan itu.
Dalan memenuhi
kebutuhan diatas perlu memperhatikan keterampilan dalam membangun hubungan yang
terapeutik adalah sebagai berikut:
(1)
Berikan layanan dengan penuh rasa
hormat, kepedulian yang tinggi dan respek.
(2)
Mulai berkomunikasi mendengarkan masalah
mereka, sampaikan keprihatinan, berikan bantuan yang berkelanjutan (tapi tidak
pernah memaksa). Reaksi duka cita atau kesedihan antara satu orang dan orang
lainnya mungkin saja berbeda.
(3)
Mobilisasi dukungan sosial (tapi jangan
memaksa) Cegah timbulnya bahaya yang lain (seperti berjangkitnya penyakit
menular)
(4)
Mendorong Keberfungsian
Tujuan:
memberikan kenyamanan, menenenangkan, mengupayakan kondisi yang lebih stabis
pada penyintas jika diperlukan)
Tidak semua
orang yang terkena bencana akan mengembangkan gangguan psikologis. Oleh sebab
itu tidak semua orang yang terkena bencana membutuhkan upaya stabilisasi baik
secara medis (lengan memberikan obat atau suntikan) maupun psikologis
(konseling dan terapi).
Akan tetapi
ketika reaksi itu muncul dengan kuat penyedia layanan PFA jika memungkinkan
melakukan stabilisasi secara langsung atau dapat juga melakukan proses rujukan
pada profesional kesehatan jiwa atau psikolog yang ada. Berikut adalah
tanda-tanda yang bisa mengindikasikan adanya gangguan yang terjadi pada
penyintas:
(a)
Mengalami disorientasi tempat dan waktu
(b)
Mengalami penurunan kapasitas berpikir
atau konsentrasi
(c)
Tidak responsif terhadap pertanyaan
lisan atau perintah yang diberikan
(d)
Menunjukan reaksi sedih yang berlebihan
dan tak terkontrol
(e)
Tidak dapat mengontrol reaksi fisik
seperti anggota tubuh bergetar terus menerus
(f)
Merasa tidak mampu melakukan apapun
Adapun hal-hal
yang bisa dilakukan dalam rangka mendorong keberfungsian penyintas adalah
berikut:
(a)
Berikan rasa nyaman melalui perilaku
verbal dan non-verbal pada penyintas, terutama jika penyintas yang tampak
sangat emosional, penyintas yang berduka karena kehilangan anggota keluarga,
penyintas yang sangat terpapar dengan pcngalaman traumatis
(b)
Mengajarkan keterampilan mengelola
stress yang sederhana, misalnya: mengatur nafas, relaksasi.
(c)
Jaga keluarga penyintas agar tetap
bersama dan berhubungan satu sama lain
(d)Pertemukan
kembali penyintas yang terpisah dengan keluarganya
(e)
Tanyakan pada penyintas adakah pihak
lain yang ingin diberitahu penyintas sehubungan dengan bencana baru saja
terjadi
(f)
Hubungkan penyintas kepada sumber
bantuan yang tersedia dan penyintas lain.
f)
Memfasilitasi Fenyintas Untuk Pemulihan
Tujuan:
Mendorong penyintas untuk berpartisipasi dalam proses pemulihan pasca bencana
dan membantu penyintas menyusun rencana tindak lanjut.
Ada beberapa hal
yang bisa dilakukan dalam rangka menfasilitasi proses pemulihan, antara lain
adalah:
(1)
Mendorong penyintas untuk kembali pada
rutinitasnya
(2)
Libatkan penyintas secara aktif dalam
tugas-tugas pemulihan dan perilaku bantu diri
(3)
Berikan kesempatan pada penyintas untuk
saling menolong
d)
Teknik PFA (Phsycological
First Aid)
Defusing
(1)
Defusing bertujuan untuk
(a) Mencegah munculya secondary trauma
(b) Memberikan informasi tentang stress.
(c) Memberikan dukungan.
(d)
Memberikan kesempatan kepada penyintas untuk mengekspresikan
perasaan mereka.
(e)
Untuk menyiapkan atau menetapkan kebutuhan untuk debriefing yang
bersifat lebih formal, (dijelaskan di bawah).
(2) Panduan untuk Defusing:
(a)
Dilakukan selama kurang lebih 45
menit.
(b)
Bisa dilakukan oleh orang awam yang telah dilatih dengan baik.
(c)
Orang yang bersangkutan harus menyadari keterbatasannya sebagai pribadi
dan harus mau meminta bantuan jika situasi memerlukan.
(d) Seharusnya dilakukan dalam suasana yang nyaman, bebas dari
distraksi /gangguan dan hambatan.
(e)
Semua peserta harus tetap hadir sampai akhir pertemuan.
(3) Langkah-langkah Defusing:
(a) Tanyakan kepada kelompok penyintas tersebut, apa yang telah
terjadi/dialami.
"Apa yang Anda pikirkan ketika hal ini terjadi?" "Bagaimana
perasaan Anda tentang peristiwa ini ketika itu terjadi?” "Apa
bagian terburuk bagi Anda?” "Bagaimana perasaan Anda tentang hal itu
sekarang?"
(b)
Setelah sharing mereda, sampaikanlah informasi tentang
kemungkinan berbagai gejala dan tanda-tanda stress yang bisa saja dialami atau tidak dialami oleh
kelompok itu Berikanlah informasi tertulis kepada masing-masing orang tentang
siapa yang bisa mereka hubungi seandainya
mereka membutuhkan pertolongan lanjutan.
(c) Tutup dengan relaksasi bersama
Debriefing
Debriefing berfungsi untuk meringankan dampak
stress dengan memberikan kesempatan kepada penyintas ataupun pekerja kemanusiaan untuk mengeluarkan perasaan mereka
dan menyediakan dukungan serta
informasi. Proses ini dilakukan dalam
pertemuan kelompok orang-orang yang terlibat langsung dalam insiden traumatis
itu. Pertemuan dilakukan secara terstruktur. Penting sekali dijelaskan di awal
pertemuan supaya semua orang yang terlibat memahami dengan pasti bahwa
pertemuan ini menjamin kerahasiaan, diskusi yang tidak menghakimi (mencari-cari
kesalahan) tentang terjadinya insiden dan reaksi-reaksi yang muncul, pikiran
dan berbagai perasaan yang disebabkan oleh trauma tersebut.
(1) Tujuan:
(a)
Untuk memberikan informasi tentang traumatik stress.
(b)
Untuk memberikan kesempatan mengeluarkan perasaan sebelum
perasaan-perasaan tersebut mendatangkan masalah/gangguan dalam diri mereka.
(c)
Untuk menanamkan keyakinan bahawa apa yang mereka lakukan sudah tepat
dan apa yang mereka rasakan itu normal
dan kemungkinan besar mereka akan pulih dari semua ini.
(d)
Memberikan peringatan dini kepada mereka yang belum merasakan terkena
gejala stress, bahwa ada kemungkinan belakangan nanti mereka akan merasakan
dampaknya dan memberikan kepada mereka jalan untuk menghadapi kemungkinan
tersebut.
(e)
Untuk memberitahu kepada
penyintas bahwa mereka tidak harus menghadapi pengalaman ini sendirian.
(f)
Untuk meyakinkan ulang kepada mereka bahwa reaksi yang muncul dalam
diri mereka adalah normal.
(g)
Untuk membantu terciptanya kesatuan kelompok (cohesiveness).
(h)
Untuk memberikan informasi tentang sumberdaya yang tersedia jika mereka
merasa tidak mampu mengatasinya.
(i)
Untuk membicarakan/menyampaikan pelayanan tambahan/lanjutan yang
tersedia jika mereka memerlukan dan meminta.
(2) Panduan untuk debriefing:
(a) Semua orang yang terlibat langsung dalam insiden traumatik
tersebut perlu menerima pelayanan debriefing.
(b) Debriefing sebaiknya dilakukan di
tempat yang cukup besar untuk menampung semua orang yang terlibat, bebas dari gangguan dan
interupsi, memungkinkan peserta untuk duduk melingkar, serta sebisa mungkin di
tempat itu semua orang bisa merasa aman.
(c) Debriefing sebaiknya dilakukan
antara 24-72 jam setelah kejadian, atau secepat para penyintas tersebut bisa
bertemu.
(d) Debriefing sebaiknya
dilangsungkan selama 3 jam ditambah waktu pertemuan para staff sebelum (pra-debrieffing)
dan sesudah debriefing (post-debriefing) berlangsung.
(e) Debriefing harus dipimpin oleh
orang yang terlatih dalam proses tersebut—paling tidak 2 orang pemimpin untuk
satu kelompok, dengan rasio satu pemimpin untuk 10 peserta/penyintas.
(f) Kelompok debriefing sebaiknya terdiri dari 4-20 peserta.
(3) Langkah-langkah Debriefing
(a)
Pertemuan
Pra-debriefing:
Semua pendamping
bertemu untuk mengkaji semua fakta,
rumor, dan data mengenai insiden tersebut.
(a)
Mengunjungi tenpat kejadian,
jika diperlukan.
(b) Mengkaji video, artikel di berbagai koran, laporan, dll.
(c)
Menentukan siapa yang akan
menjadi pemimpin.
(d)
Mengatur ruang pertemuan, menata kursi membentuk lingkaran.
(b) Pertemuan debriefing:
(a)
Perkenalkanlah diri anda dan berikanlah penjelasan singkat tentang apa
yang akan berlangsung selama pertemuan itu.
(b)
Sampaikan tujuan dari pertemuan ini. Sebagai contoh; anda bisa berkata “pertemuan ini diadakan untuk mencoba
menolong anda menghadapi berbagai pikiran dan reaksi yang mungkin anda rasakan,
dan untuk memberikan informasi tentang bagaimana anda bisa membantu diri anda
mengatasi berbagai masalah tersebut. Anda mungkin bisa juga mengatasi semua ini
sendirian, tetapi kami menemukan bahwa orang-orang yang mengikuti pertemuan
seperti ini bisa tidur, makan, melakukan
pekerjaan dan tanggungjawab rumah tangga dengan lebih baik ketimbang
mereka yang tidak mengikutinya.”
(c)
Sampaikan tata-tertib atau
garis besar aturan pertemuan ini.
Tunjukkan bahwa:
·
Tidak ada seorang pun yang
diwajibkan bicara selama debriefing tetapi semua orang diundang untuk
mengeluarkan pikirannya. Partisipasi
akan menolong meyakinkan dan mendukung seluruh anggota kelompok lainnya.
·
Pertemuan ini bersifat
rahasia. Apa yang disampaikan harus dijaga kerahasiaannya oleh mereka yang
hadir dalam kelompok tersebut.
·
Tidak akan ada jam istirahat
(break) dalam proses debriefing, Jika ada peserta yang perlu
kebelakang, silahkan melakukannya dan segera kembali masuk ke dalam kelompok.
·
Tidak ada orang yang
berbicara mewakili orang lain. Peserta
hanya boleh menyampaikan pikiran, perasaan dan reaksi mereka pribadi.
o Dalam proses debriefing semua orang diperlakukan sama
sederajat.
o Ini bukanlah waktu untuk saling melemparkan kesalahan.
o Pertemuan ini bukan merupakan bagian dari penyidikan—ini ditujukan
untuk keuntungan/kebaikan anggota kelompok.
o Peserta harus merasa bebas
untuk menanyakan sesuatu.
(d)
Menemukan fakta
Kelilingilah
lingkaran tersebut dan mintalah peserta menyebutkan nama dan di mana mereka
pada saat insiden terjadi. Ini akan
membantu melakukan reka-ulang kejadian tersebut dan menyajikan fakta-fakta
penting disekitar kejadian/ insiden ini.
(e)
Berbagi Pikiran
·
Mintalah peserta berbagi
pikiran tentang apa yang telah mereka dengar dan lihat. Mintalah mereka untuk membagikan apa yang
pertama-tama muncul di benak mereka.
·
Hargai, berikan penghiburan,
dan lanjutkan kepada peserta berikutnya.
·
Jangan menyelidik.
(f)
Berbagi Reaksi
·
Mintalah agar peserta
menggambarkan bagian mana yang paling buruk dari insiden yang mereka alami.
·
Jangan menggali/menyelidik
kecuali untuk memperjelas maksud peserta.
(g)
Identifikasi Gejala
·
Mintalah agar peserta
memeriksa diri sendiri apakah ada masalah fisik, emosi/ pikiran atau perilaku
yang mereka rasakan (jika ada) dan menceritakannya kepada kelompok sejauh yang mereka bisa.
·
Mintalah agar para peserta
mengidentifikasi gejala yang mereka rasakan itu. Apa yang dirasakannya tepat sesudah insiden terjadi, beberapa
hari sesudahnya dan sekarang saat pertemuan ini berlangsung.
(h)
Berbagi Informasi
Berikanlah keyakinan bahwa
apa yang dirasakan dan dialami peserta adalah normal bagi orang yang baru saja
melewati peristiwa traumatik. Pendamping
bisa juga menyebutkan beberapa efek trauma lainnya yang tidak disebutkan oleh
peserta.
Berikanlah informasi tentang
apa yang bisa mereka lakukan untuk menangani
efek spesifik dari stress yang mereka alami.
(i)
Kesimpulan
·
Berikan kembali penghiburan
anda bagi mereka, sekali lagi berikan kesempatan kepada peserta untuk
menyampaikan reaksi atau pertanyaan atau apa saja yang belum sempat mereka
sampaikan pada kesempatan pertama.
·
Anda bisa menyebutkan
tentang emosi yang anda rasakan ada
dalam kelompok tersebut tetapi belum
terekspresikan oleh mereka.
·
Peserta mungkin ingin
menyusun rencana kerja (action plan), rencana pencegahan (prevention
plan) maupun ingin mendapatkan informasi tambahan lainnya.
·
Berikanlah dukungan dan
tawarkanlah bimbingan dan informasi yang diperlukan.
(c)
Pertemuan Post-debriefing
Anda harus tetap siap untuk menolong jika ada peserta yang mungkin
memerlukan pertolongan tambahan. Ciptakan suasana yang wajar (normality) saat orang-orang
meninggalkan pertemuan.
(d) Pertemuan Para
Pendamping
Semua anggota tim bertemu
untuk membahas proses debriefing yang telah dilakukan dan berbagai
masalah yang memerlukan perhatian, serta topik atau isu yang muncul.
Disarankan anda menulis laporan mengenai pertemuan debriefing
yang berlangsung. Catat jika ada komentar khusus yang menurut anda
penting. Jagalah agar ini tetap menjadi
rahasia anda tetapi usahakan tetap
tersedia begitu anda diperlukan untuk memberikan pertemuan lanjutan (follow
up).
Mengatasi Panik
Model ini efektif untuk penyintas karena gempa bumi atau tsunami.
Seringkali paska terjadi bencana, anak-anak mudah terstimulasi oleh hal-hal
kecil yang pada akhirnya membuat mereka panik. Misalnya anak-anak yang
daerahnya baru saja terkena gempa bumi hebat, getaran kecil yang diakibatkan
oleh mobil yang lewat dapat membuat mereka sangat panik, atau anak-anak yang
daerahnya baru saja mengalami banjir, saat mendengar suara air gemericik dapat membuat
mereka menjadi panik. Pada saat terjadi kepanikan, batang otak/ brain stem berfungsi
secara dominan, hal inilah
yang membuat terjadi kepanikan. Untuk menolong anak-anak agar tetap
tenang dan tidak panic maka diperlukan stimulasi terhadap neokoterks atau otak berpikirnya.
Stimulasi
dilakukan dengan mengajak anak-anak berpikir dan menggerakkan tubuhnya:
(1)
Langkah-langkahnya
(a)
Orang dewasa/guru/pendamping harus tenang atau jangan panik
Latih
anak-anak untuk menstimulasi neokorteksnya dengan mengatakan dan melakukan sesuatu yang menenangkan
a. Saya sedang mengalami rasa PANIK. Saya
berkata pada diri saya
b. Nama saya...... (sebutkan nama diri sendiri)
c. Saya sedang di..... (sebutkan lokasinya)
d. Umur saya..... (sebutkan umurnya)
e. Sekarang hari..... (sebutkan hari saat itu)
f.
Sekarang
tanggal.....
(sebutkan tanggal saat itu)
g. Tepuk
tangan 10 kali, dan ucapkan satu
hingga sepuluh
h. Injak
bumi 6 kali, dan ucapkan satu
hingga enam
i.
Katakan :”saya tenang”
2.4.2
Stabilisasi
Emosi
Stabilisasi Emosi merupakan metode
penanganan yang dapat masuk dalam semua golongan masyarakat tanpa takut
dibatasi adanya perbedaan budaya, Teknik ini dibutuhkan bagi semua orang yang
tidak stabil emosinya akibat pengalaman negatif yang baru dialami maupun karena
munculnya kecemasan menghadapi kejadian yang akan datang. Pendekatan ini dapat
diaplikasikan pada klien yang mengalami kesulitan tidur, kehilangan
konsentrasi, ketegangan, kecemasan, atau was-was, serta mengalami emosi negatif
seperti takut, sedih, marah, kecewa, dan sebagainya secara terus menerus (Kemenkes RI, 2014).
1) Tehnik Stabilisasi Emosi
Teknik pernafasan dalam merupakan
cara yang paling mudah dan sederhana untuk menstabilkan emosi. Ada beberapa
teknik yang dapat digunakan diantaranya :
Cara melakukan:
(1) Bernapaslah
seperti biasa, hitunglah tarikan napas anda dalam satu menit, kemudian catat
atau ingat- ingat (biasanya klien melaporkan antara 10-25)
(2) Sekarang
bernafaslah secara perlahan dan dalam, usahakan mencapai 4-8 tarikan hembusan nafas permenit, bernafaslah
dengan menarik nafas dan mengembungkan perut, kemudian tahan dalam tiga
hitungan, setelah itu hembuskan perlahan hingga perut anda kempis kembali
kemudian tahan lagi sampai tiga hitungan
(3) Selanjutnya
ulangi menarik nafas dalam dan perlahan dengan mengembungkan perut, bila sudah
dirasa cukup tahan dalam tiga hitungan, kemudian hembuskan perlahan dengan
mengempiskan perut, tahan dalam tiga hitungan dan tarik napas lagi. d).
(lakukan beberapa kali sampai klien merasa lebih tenang)
(4) Ingat,
jumlah hitungan ketika menahan nafas harap disesuaikan dengan kemampuan
masing-masing individu, jangan sampai anda merasa terpaksa tetapi lakukanlah
semampunya, lama kelamaan hitungan ini akan bertambah dengan sendirinya.
2) Sensing
Finger Tips
Cara melakukan
(1) Saya
akan mengajak anda untuk latihan menenangkan diri
(2) Bernapaslah
seperti biasa, pertemukan jari-jari tangan kiri dan tangan kanan anda. Ibu ibu
jari. telunjuk dengan telunjuk dan seterusnya.
(3) Kemudaian
pejamkan mata anda, bernafaslah perlahan, lebih perlahan dan sangat perlahan
(4) Setelah
anda mencapai keaadaan lebih tenang, coba rasakan denjut nadi diujung-ujung
jari. (Bila anda tidak segera dapat merasakannya tidak perlu khawatir,
ssebagian orang memerlukan waktu lebih lama dari sebagian lainnya).
(5) Setelah
anda dapat merasakannya selanjutnya ada dapat mengatakan dalam hati kata-kata
yang dapat menenangkan anda bersamaan dengan denjut nadi yang anda
rasakan." Sabar sabar sabar atau "tenang ..........tenang
...........tenang" atau "saya bisa................... saya bisa
...........saya bisa" atau ucapan doa.
(6) Kita
kembali keruangan ini setelah anda rana cukup dan anda sudah merasa lebih
tenang.
(7) (Setelah
beberapa kali latihan, anda bisa melakukannya dengan mata terbuka dan melakukan
hal lain, misalnya ketika mendengarkan orang lain berbicara atau mendengarkan
kuliah)
(Kemenkes RI, 2014)
2.5 Trauma Healing
2.5.1
Pengertian
Trauma
merupakan terjadinya benturan antara fisik dan mental, semakin keras
benturannya semakin besar efeknya.Healing merupakan upaya pemulihan perorangan
atau kelompok pasca terjadinya trauma.
Trauma
adalah istilah psikologis menunjukkan kondisi yang syok dan tertekan oleh suatu
peristiwa yang membekas relative lama pada korban. Trauma healing adalah suatu
tindakan yang dilakukan untuk membantu orang lain untuk mengurangi bahkan
menghilangkan gangguan psikologis yang sedang dialami yang dilakibatkan syok
atau trauma.Trauma healing merupakan salah satu program yang berfungsi untuk
mengembalikan mental seseorang atau kelompok, pasca bencana alam kepada
masyarakat yang terkena bencana. (Poltekkes Kemenkes Bandung, 2015)
2.5.2
Manfaat trauma healing
Kegiatan trauma
healing mempunyai banyak manfaat bagi masyarakat yang menjalani trauma healing
ini. Berikut ini merupakan manfaat dari trauma healing :
1)
Menghilangkan
beban di pikiran
2)
Membuat bahagia
3)
Menjadi pribadi
yang lebih ikhlas
4)
Menjadi semangat
kembali
5)
Membuat hati
tenang dan tentram
6)
Lebih peka untuk
menyikapi keadaan yang ada
(Poltekkes Kemenkes Bandung, 2015)
2.5.3
Kegiatan trauma healing
Dapat
berupa terapi bermain, terapi aktivitas kelompok, SEFT (Spiritual Emotional
Technique), tetapi memasak, relaksasi, dan lain-lain. Biasanya trauma healing
dilakukan pada tahap 2 setelah bencana (pasca bencana), tepatnya setelah
kegiatan TRC & Evakuasi.
1)
Terapi bermain
Fokus trauma healing adalah kepada anak-anak, karena
kejadian bencana alam biasanya menyebabkan perubahan mental dan sikap, oleh
karena itu tugas kita adlah menghilangkan rasa takut atas kejadian bencana yang
mengerikan bagi anak-anak (Poltekkes Kemenkes Bandung, 2015).
Bermain adalah merupakan
suatu aktifitas yang dilakukan dengan sukarela atas dasar rasa senang dan
menumbuhkan aktifitas yang dilakukan secara spontan Terapi bermain merupakan
salah satu kegiatan yang dapat dilakukan dimana saja, kapan saja, dan dengan
siapa saja, karena dari anak kecil sampai dewasa suka dengan yang namanya
bermain. Permainan yang dapat dilakukan dalam terapi ini tergantung situasi dan
kondisi yang ada. Contohnya ketika di suatu tempat bencana disana tidak ada
apa-apa, kita sebagai mahasiswa juga tidak mempunyai perlengkapan yang cukup
untuk melakukan suatu permainan yang besar, tapi semua itu tidak membatasi kita
untuk melakukan terapi bermain ini, kita bisa menggunakan permainan klasik yang
adik-adik di tenda penampungan biasa mainkan, kita harus bisa meyakinkan mereka
untuk bangkit, untuk melakukan aktifitas seperti biasa, dan mensyukuri apa yang
masih ada. Dengan terapi bermain ini, pelakunya mampu menghilangkan beban
dihati, bisa tersenyum dan bahagia walaupun kondisinya saat ini lagi kurang
beruntung.
2)
Terapi Aktifitas Kelompok TAK (Terapi Aktivitas Kelompok)
Salah satu terapi modalitas
yang dilakukan oleh perawat kepada sekelompok klien yang mempunyai masalah
keperawatan yang sama. Aktivitas digunakan sebagai terapi, dan kelompok digunakan
sebagai target asuhan. Sehingga di dalam kelompok tersebut terjadi dinamika
interaksi yang saling bergantung, saling membutuhkan dan menjadi laboratorium
tempat klien berlatih perilaku baru yang adaptif untuk memperbaiki perilaku
lama yang maladaptive (Keliat, 2005).
Terapi Aktifitas Kelompok
ini dapat dilakukan dengan beberapa kegiatan seperti menggambar, mendengarkan
musik, mendengarkan lagu dan lain-lain. Dalam terapi ini, masyarakat dibentuk
dalam sebuah kelompok dan masing-masing kelompok terdapat sekitar sepuluh
orang. Di dalam kelompok tersebut kita sebagai mahasiswa yang memimpin dan
sebagai fasilitator.
3)
Self (spiritual emotional freedom technique)
SEFT merupakan pengembangan
dari EFT dari Hale Downskin, dimana dalam teknik SEFT ditambahkan dengan
sugesti spiritual kepada penyitas. Teknik ini mengkombinasikan teknik
relaksasi-meditatif dan akunpuntur. Kegiatan SELF ini dilakukan sekitar 3-5
menit.
4)
Terapi Memasak Memasak
pada prinsipnya adalah
proses atau pemberian panas pada bahan makanan sehingga bahan itu menjadi mudah
dicerna, aman dan lezat serta mengubah bentuk penyajian. Terapi memasak ini
dilakukan oleh masyarakat dengan cara memasak secara bersama-sama sehingga ada
interaksi artar individu, dan masing-masing individu tidak berlarut-larut dalam
kesedihan mereka masing-masing. Pada terapi ini masyarakat saling berusaha
membantu teman atau saudaranya dengan menyediakan masakan untuk dimakan
bersama-sama.
5)
Relaksasi
Relaksasi adalah upaya
menjadi rilaks, bukan hanya tubuh fisik, tetapi juga batin kita. Namun
relaksasi bukanlah meditasi. Relaksasi adalah anak tangga menuju meditasi
Relaksasi ini dapat dilakukan dengan tujuan untuk menenangkan diri,
menyelaraskan apa yang ada pada diri individu, dan menghilangkan beban yang
ada, sehingga lebih rilaks dan merasa nyaman.
6)
Berbagai teknik dapat berguna dalam mengurangi stres dan kecemasan menurut (Kharismawan, 2008).
a)
Istirahat dan rekreasi: Istirahat singkat yang berkualitas dari kegiatan
sehari-hari dan tidur yang cukup penting, baik untuk pekerja bantuan dan
penyintas. Mendorong semua para pekerja kemanusiaan untuk mendapatkan tidur yang memadai dan hari untuk
libur. Kegiatan rekreasi, mulai dari permainan kartu, adakan acara menonton
televisi atau film layar tancap
bersama-sama, hal ini akan memberikan
kesehatan psikologis bagi penyintas maupun pekerja kemanusiaan yang membantu.
Kegiatan rekreasi berfungsi sebagai
pengalih perhatian, yang mencegah mereka terus menerus berpikir tentang
bencana.
b)
Ventilasi: Mengizinkan pekerja bantuan dan penyintas untuk berbicara
tentang pengalaman dan perasaan mereka,
melalui defusing dan debrifing
c)
Olahraga: Aktivitas fisik membantu menghilangkan stres. Memberikan
kesempatan bagi pekerja bantuan dan penyintas bencana untuk mendapatkan
latihan: bermain sepakola, volley, jogging, ataupun menari bersama
d) Relaksasi: Beberapa jenis latihan relaksasi
dengan mudah dapat diadaptasi untuk digunakan dalam pengaturan bencana untuk
membantu klien mengurangi kecemasan dan stres. Ini termasuk bernapas latihan visualisasi, latihan relaksasi otot,
dan kombinasi keduanya.
e)
Ekspresif: teknik ekspresif adalah media ventilasi perasaan, untuk
menciptakan sebuah narasi baru tentang peristiwa mengerikan yang baru saja
mereka alami, memulihkan rasa kontrol, mendapatkan dukungan dari rekan, dan normalisasi gejala-gejala psikologis yang
dialami. Contoh teknik ekspresif adalah menggambar, play back teater, pelepasan
emosi, dan lain sebagainya.
2.5.4
Tahap Trauma Healing
1)
Kedekatan, para
relawan harus berusaha lebih dekat sehingga terjadi hubungan emosional.
2)
Usahakan para
korban merasa aman dan nyaman ketika berada di dekat kita
3)
Yang dibutuhkan
selain fasilitas mereka butuh teman dan motivasi
(Poltekkes Kemenkes Bandung, 2015)
2.5.5
Target kegiatan trauma healing
1)
Anak-anak
2)
Ibu-ibu
3)
Relawan
2.5.6
Cara
1)
Berbaur bersama
mereka selalu dengan memetakan kebutuhan dan intervensi
2)
Untuk anak-anak,
pendekatan terhadap anak-anak dalam upaya untuk menguatkan mereka, cara yang
paling ampuh adalah lewat permainan dan cerita.
3)
Intuk ibu-ibu,
Cara
pendekatannya adalah dengan mengobrol/ mendengarkan cerita mereka, curahan
hatinya sangat penting karena ketika ibu-ibu tersebut tegar dan kuat, maka akan
terjadi efek multiplikasi terhadap anak dan suami.
4)
Untuk relawan
Paling penting
karena mereka bias stress saat melakukan tugas relawan yang menguras tenaga
dengan segala fasilitas yang terbatas (caranya pendekatnnya adalah sharing
session dan hiburan diantara mereka)
5)
Libatkan warga
untuk menjadi pembina trauma healing bagi lingkungannya
6)
Jangan lupa
doakan mereka, doa juga merupakan bagian dari trauma healing.
(Poltekkes Kemenkes Bandung, 2015)
2.5.7
Syarat relawan trauma healing
1)
Relawan trauma
healing harus mempunyai skill yang bisa memengaruhi dan bersinergi dengan
masyarakat
2)
Pendengar setia
3)
Motivator
4)
Inovasi, dll.
(Poltekkes Kemenkes Bandung, 2015)
DAFTAR PUSTAKA
Dalami, E. (2009). Buku Asuhan Keperawatan Jiwa.
Jakarta: TIM.
Keliat,
B. A. (2005). Keperawatan jiwa: Terapi aktivitas kelompok. EGC, Jakarta.
Kemenkes
RI. (2014). Modul Keperawatan Bencana Dasar. Jakarta: Badan PPSDM
Kesehatan.
Kementerian
Kesehatan, R. (2011). Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat
Bencana.
Khambali,
I., & ST, M. (2017). Manajemen Penanggulangan Bencana. Penerbit
Andi.
Kharismawan,
K. (2008). Panduan program psikososial paska bencana. Semarang: Center
For Trauma Recovery Unika Soegijapranata.
Mubarak,
W. I. (2007). Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: EGC.
Poltekkes
Kemenkes Bandung. (2015). Modul PPGD-B Nasional. Bandung.
Prabowo,
E. (2014). Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.
Sobur,
A. (2003). Psikologi umum dalam lintasan sejarah. Bandung: Pustaka
Setia.
WHO,
I. (2009). Kerangka Kerja ICN: kompetensi keperawatan bencana.
Switzerland.
No comments:
Post a Comment