Saturday, February 24, 2018

Pencegahan Dasar Sindrom Pasca Bencana (Psychological First Aid, Stabilisasi Emosi, Trauma Healing)

2.4      Pencegahan Dasar Sindrom Pasca Bencana
Masalah kesehatan jiwa akibat bencana bervariasi pada masing masing individu yang terkena. Beberapa masalah kesehatan jiwa pasca kejadian traumatis (bencana): Reaksi stres akut, berkabung, depresi, gangguan ansietas, PTSD, psikosis, gangguan bipolar dan skizofrenia, gangguan penyesuaian, eksaserbasi gangguan jiwa sebelumnya, penyalahgunaan zat, gangguan makan, dan gangguan tidur (Kemenkes RI, 2014).
Dalam mendampingi penyintas, pekerja kemanusiaan yang bergerak di bidang psikososial sebaiknya memiliki ketrampilan-ketrampilan dasar yang diperlukan untuk mendampingi mereka. Misalnya ketrampilan untuk mendengarkan dan menenangkan atau meredakan emosi yang meledak-ledak, ketrampilan memberikan emotional first aid, dan lainnya (Kharismawan, 2008).


1.       Psychological First Aid
Teknik menenangkan, defusing and debriefing, mengatasi kepanikan
2.       Relaksasi dewasa
Otot: PMR, Visualiasasi : tempat kedamaian, Pernafasan : terapi meta
3.       Relaksasi anak
Otot: PMR anak Gua Bertingkat, Menghalau Singa, Visualisasi: tempat rahasia, Pernafasan : menghirup bunga, Sugesti : sensor tubuh
4.       Kegiatan rekreasional
Seni, Teater, Olahraga, Bercerita, Permainan tradisional
5.       Terapi Ekspresif
Menulis, Menggambar
(Kharismawan, 2008)
2.4.1  Layanan Psikological First Aid (PFA)
PFA merupakan serangkaian keterampilan yang bertujuan untuk mengurangi dampak negatif mencegai timbulnya gangguan kesehatan lebih buruk yang disebabkan oleh bencana atau situasi kritis yang dihadapi.  PFA juga merupakan perawatan dasar yang bersifat praktis dan non-intrusive (pendekatan yang tidak memaksa). Fokus pada mendengarkan mengenali dan yang signifikan di sekitar penyintas, dan melindungi dari dampak negative lebih lanjut (Kemenkes RI, 2014).
Semakin cepat seorang penyintas mendapatkan pertolongan psikologis, maka kemungkinan untuk mengalami gejala stres paska bencana semakin kecil. Defusing dan Debrefing memberikan outlet bagi penyintas untuk mengeluarkan ketegangan dan kecemasan yang dialaminya. Teknik dalam psychological first aid meliputi teknik menenangkan, defusing and debriefing, mengatasi kepanikan (Kharismawan, 2008).
Kelebihan layanan ini adalah dapat dilakukan oleh tenaga profesional kesehatan/kesehatan mental, relawan, atau orang awam yang terlatih, dapat diberikan dalam setting klinis dan non-klinis (Kemenkes RI, 2014).
a)      Prinsip Dasar PFA
a)      Berikan bantuan segera mungkin langsung pada penyintas.
b)       Sediakan informasi akurat dan logis tentang situasi yang ada
c)      Bersikap jujur, jangan pernah menjanjikan sesuatu yang tak bisa kita penuhi
d)     Sediakan dukungan emosional bagi peyintas untuk pulih
e)      Fokus pada kemaupuan yang dimiliki penyintas untuk pulih
(Kemenkes RI, 2014)
b)     Tujuan
Tujuan pelayanan ini adalah untuk :
a)      Mengurangi dampak regatif dari peristiwa traumatis.
b)      Menguatkan kemampuan peyintas untuk melakukan penyesuaian diri terhadap perubahan yang teriadi, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
c)      Memperkuat proses pemulihan penyintas
(Kemenkes RI, 2014)
c)      Tindakan pertolongan pertama
Menurut Kemenkes RI (2014) tindakan pertolongan pertama pada masalah psikososial sebagai berikut :
a)      Identifikasi individu dengan koping yang tidak efektif yang ditandai dengan gejala psikologis yang dilaporkan.
(1)   Dalam proses pemberian bantuan pada komunitas yang terkena dampak  bencana,, penyedia layanan PFA harus memiliki pengetahuan awal tentang bencana apa yang terjadi. Pengetahuan ini meliputi jenis bencana, padatahap apa penanganan yang dilakukan tahap kedaruratan atau pemulihan, kebutuhan penyintas serta bantuan apa yang dibutuhkan.
(2)   Mengintegrasikan layanan PFA ini kedalam struktur pemberian bantuan yang sudah ada.
(3)   Penyedia layanan PFA perlu memperhatikan keberadaan kelompok rentan dalam sebuah situasi bencana.
b)      Bina hubungan saling percaya
Tindakan yang dilakukan adalah Mcmperkenalkan Diri dan Memulai Kontak
Tujuan: Memperkenalkan diri dengan cara yang membuat penyintas nyaman dan mendukung proses penulihan.
Lakukan:
(1)   Perkenalkan nama, pekerjaan, dan tugas anda di daerah bencana kepada penyintas.
(2)   Mintalah ijin untuk melakukan pembicaraan.
(3)   Sampaikan tentang tujuan keberadaan anda di sana.
(4)   Tanyakan apa yang bisa anda lakukan untuk dapat membantu
(5)   Jaga kerahasiaan informasi pribadi dari penyintas. Jika anda ingin meneruskan informasi kepada pihak lain mintalah persetujuan dari penyintas tersebut terlebih dahulu,
c)      Penuhi kebutuhan fisik yang mendesak
Tujuan: mengembalikan rasa aman dan menyediakan kebutuhan dasar penyintas.
Mengembalikan rasa aman menjadi tujuan penting pada saat setelah terjadinya bencana. Hal ini dapat mengurangi stres dan kekhawatiran yang dirasakan oleh penyintas. Membantu penyintas mengatasi situasi sulit seperti kehilangan orang yang dicintai, mendapat kabar bahwa ada anggota keluarga yang meninggal, mendampingi yang anggota keluarganya scdang mendapatkan perawatan serius merupakan gambaran situasi yang akan dijumpai seorang penyedia layanan PFA.
Hal-hal yang bisa dilakukan antara lain:
(1)   Pastikan keamanan peyintas dengan membawanya ke tempat yang aman, hal ini akan meningkatkan kondisi fisik maupun emosional dari para penyintas
(2)   Sediakan informasi tentang kegiatan respon bencana yang ada beserta layanan-layanan yang tersedia. Informasi yang terpercaya akan menghindarkan
(3)   Peyintas akan paparan informasi yang menyesatkan atau akan menyebabkan penyintas merasa sedih yang berlebihan
(4)   Menfasilitasi kegiatan-kegiatan yang mempromosikan kedekatan sosial. Pada saat bencana biasanya kedekatan sosial ini terganggu karena penyintas terpisah dari keluarga, tetangga, atau orang-orang yang dikenalnya. Tidak jarang mereka harus tinggal di tempat penampungan sementara dengan orang-orang yang tidak mereka kenal sebelumnya. Kegiatan ini misalnya, membuat kegiatan bermain anak difasilitasi orang orang tua atau remaja dari tempat tersebut, membuat kelompok pengajian atau kelompok ibadah bersama, membuat kelompok piket memasak atau piket kebersihan
(5)   Memberikan perhatian pada anak yang terpisah dari orang tuanya. Bantu orang tua yang kehilangan anak untuk dapat pencarian yang ada atau mengakses menginformasikan kehilangan anakanya kepada para pihak yang terkait
(6)   Hindarkan penyintas dari situasi yang menyebabkan atau mengingatkan akan pengalaman traumatik. Dalam situasi bencana seperti ini, kita akan banyak menjumpai orang-orang dengan niat baik yang mungkin tidak mengetahui atau menyadari bahwa apa yang mereka lakukan dapat merugikan atau melukai orang yang ingin mereka hantu. Hal-hal itu antara lain seperti menyarankan pada penyintas untuk menolak wawancara atau pembicaraan dengan orang-orang tersebut jika mereka memang tidak ingin bercerita. Sampaikan pada penyintas bahwa mereka berhak melakukan itu.
Dalan memenuhi kebutuhan diatas perlu memperhatikan keterampilan dalam membangun hubungan yang terapeutik adalah sebagai berikut:
(1)   Berikan layanan dengan penuh rasa hormat, kepedulian yang tinggi dan respek.
(2)   Mulai berkomunikasi mendengarkan masalah mereka, sampaikan keprihatinan, berikan bantuan yang berkelanjutan (tapi tidak pernah memaksa). Reaksi duka cita atau kesedihan antara satu orang dan orang lainnya mungkin saja berbeda.
(3)   Mobilisasi dukungan sosial (tapi jangan memaksa) Cegah timbulnya bahaya yang lain (seperti berjangkitnya penyakit menular)
(4)   Mendorong Keberfungsian
Tujuan: memberikan kenyamanan, menenenangkan, mengupayakan kondisi yang lebih stabis pada penyintas jika diperlukan)
Tidak semua orang yang terkena bencana akan mengembangkan gangguan psikologis. Oleh sebab itu tidak semua orang yang terkena bencana membutuhkan upaya stabilisasi baik secara medis (lengan memberikan obat atau suntikan) maupun psikologis (konseling dan terapi).
Akan tetapi ketika reaksi itu muncul dengan kuat penyedia layanan PFA jika memungkinkan melakukan stabilisasi secara langsung atau dapat juga melakukan proses rujukan pada profesional kesehatan jiwa atau psikolog yang ada. Berikut adalah tanda-tanda yang bisa mengindikasikan adanya gangguan yang terjadi pada penyintas:
(a)    Mengalami disorientasi tempat dan waktu
(b)   Mengalami penurunan kapasitas berpikir atau konsentrasi
(c)    Tidak responsif terhadap pertanyaan lisan atau perintah yang diberikan
(d)   Menunjukan reaksi sedih yang berlebihan dan tak terkontrol
(e)    Tidak dapat mengontrol reaksi fisik seperti anggota tubuh bergetar terus menerus
(f)    Merasa tidak mampu melakukan apapun
Adapun hal-hal yang bisa dilakukan dalam rangka mendorong keberfungsian penyintas adalah berikut:
(a)    Berikan rasa nyaman melalui perilaku verbal dan non-verbal pada penyintas, terutama jika penyintas yang tampak sangat emosional, penyintas yang berduka karena kehilangan anggota keluarga, penyintas yang sangat terpapar dengan pcngalaman traumatis
(b) Mengajarkan keterampilan mengelola stress yang sederhana, misalnya: mengatur nafas, relaksasi.
(c) Jaga keluarga penyintas agar tetap bersama dan berhubungan satu sama lain
(d)Pertemukan kembali penyintas yang terpisah dengan keluarganya
(e) Tanyakan pada penyintas adakah pihak lain yang ingin diberitahu penyintas sehubungan dengan bencana baru saja terjadi
(f)  Hubungkan penyintas kepada sumber bantuan yang tersedia dan penyintas lain.
f)       Memfasilitasi Fenyintas Untuk Pemulihan
Tujuan: Mendorong penyintas untuk berpartisipasi dalam proses pemulihan pasca bencana dan membantu penyintas menyusun rencana tindak lanjut.
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan dalam rangka menfasilitasi proses pemulihan, antara lain adalah:
(1)   Mendorong penyintas untuk kembali pada rutinitasnya
(2)   Libatkan penyintas secara aktif dalam tugas-tugas pemulihan dan perilaku bantu diri
(3)   Berikan kesempatan pada penyintas untuk saling menolong
d)     Teknik PFA (Phsycological First Aid)
Defusing
(1)   Defusing bertujuan untuk
(a)    Mencegah munculya secondary trauma
(b)   Memberikan informasi tentang stress.
(c)    Memberikan dukungan.
(d)   Memberikan kesempatan kepada penyintas untuk mengekspresikan perasaan  mereka.
(e)    Untuk menyiapkan atau menetapkan kebutuhan untuk debriefing yang bersifat  lebih formal,   (dijelaskan di bawah).
(2)   Panduan untuk Defusing:
(a)    Dilakukan selama kurang lebih  45 menit.
(b)   Bisa dilakukan oleh orang awam yang telah dilatih dengan baik.
(c)    Orang yang bersangkutan harus menyadari keterbatasannya sebagai pribadi dan harus mau meminta bantuan jika situasi memerlukan.
(d)   Seharusnya dilakukan dalam suasana yang nyaman, bebas dari distraksi /gangguan dan hambatan.
(e)    Semua peserta harus tetap hadir sampai akhir pertemuan.
(3)   Langkah-langkah Defusing:
(a)    Tanyakan kepada kelompok penyintas tersebut, apa yang telah terjadi/dialami. "Apa yang Anda pikirkan ketika hal ini terjadi?" "Bagaimana perasaan Anda tentang peristiwa ini ketika itu terjadi?"Apa bagian terburuk bagi Anda?” "Bagaimana perasaan Anda tentang hal itu sekarang?"
(b)   Setelah sharing mereda, sampaikanlah informasi tentang kemungkinan berbagai gejala dan tanda-tanda stress yang  bisa saja dialami atau tidak dialami oleh kelompok itu Berikanlah informasi tertulis kepada masing-masing orang tentang siapa yang bisa mereka hubungi  seandainya mereka membutuhkan  pertolongan lanjutan.
(c)    Tutup dengan relaksasi bersama
Debriefing
Debriefing berfungsi untuk meringankan dampak stress dengan memberikan kesempatan kepada penyintas ataupun pekerja kemanusiaan untuk mengeluarkan perasaan mereka dan  menyediakan dukungan serta informasi.  Proses ini dilakukan dalam pertemuan kelompok orang-orang yang terlibat langsung dalam insiden traumatis itu. Pertemuan dilakukan secara terstruktur. Penting sekali dijelaskan di awal pertemuan supaya semua orang yang terlibat memahami dengan pasti bahwa pertemuan ini menjamin kerahasiaan, diskusi yang tidak menghakimi (mencari-cari kesalahan) tentang terjadinya insiden dan reaksi-reaksi yang muncul, pikiran dan berbagai perasaan yang disebabkan oleh trauma tersebut.
(1)   Tujuan:
(a)    Untuk memberikan informasi tentang traumatik stress.
(b)   Untuk memberikan kesempatan mengeluarkan perasaan sebelum perasaan-perasaan tersebut mendatangkan masalah/gangguan dalam diri mereka.
(c)    Untuk menanamkan keyakinan bahawa apa yang mereka lakukan sudah tepat dan apa yang mereka rasakan  itu normal dan kemungkinan besar mereka akan pulih dari semua ini.
(d)   Memberikan peringatan dini kepada mereka yang belum merasakan terkena gejala stress, bahwa ada kemungkinan belakangan nanti mereka akan merasakan dampaknya dan memberikan kepada mereka jalan untuk menghadapi kemungkinan tersebut.
(e)    Untuk  memberitahu kepada penyintas bahwa mereka tidak harus menghadapi pengalaman ini sendirian.
(f)    Untuk meyakinkan ulang kepada mereka bahwa reaksi yang muncul dalam diri mereka adalah normal.
(g)   Untuk membantu terciptanya kesatuan kelompok (cohesiveness).
(h)   Untuk memberikan informasi tentang sumberdaya yang tersedia jika mereka merasa tidak mampu mengatasinya.
(i)     Untuk membicarakan/menyampaikan pelayanan tambahan/lanjutan yang tersedia jika mereka memerlukan dan meminta.
(2)   Panduan untuk debriefing:
(a)    Semua orang yang terlibat langsung dalam insiden traumatik tersebut perlu menerima pelayanan debriefing.
(b)   Debriefing sebaiknya dilakukan di tempat yang cukup besar untuk menampung semua orang  yang terlibat, bebas dari gangguan dan interupsi, memungkinkan peserta untuk duduk melingkar, serta sebisa mungkin di tempat itu semua orang bisa merasa aman.
(c)    Debriefing sebaiknya dilakukan antara 24-72 jam setelah kejadian, atau secepat para penyintas tersebut bisa bertemu.
(d)   Debriefing sebaiknya dilangsungkan selama 3 jam ditambah waktu pertemuan para staff sebelum (pra-debrieffing) dan sesudah debriefing (post-debriefing) berlangsung.
(e)    Debriefing harus dipimpin oleh orang yang terlatih dalam proses tersebut—paling tidak 2 orang pemimpin untuk satu kelompok, dengan rasio satu pemimpin untuk 10 peserta/penyintas.
(f)    Kelompok debriefing sebaiknya terdiri dari 4-20 peserta.
(3)     Langkah-langkah Debriefing
(a)      Pertemuan Pra-debriefing:
Semua pendamping bertemu  untuk mengkaji semua fakta, rumor, dan data mengenai insiden tersebut.
(a)      Mengunjungi tenpat kejadian, jika diperlukan.
(b)     Mengkaji video, artikel di berbagai koran, laporan, dll.
(c)      Menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin.
(d)     Mengatur ruang pertemuan, menata kursi membentuk lingkaran.
(b)     Pertemuan debriefing:
(a)      Perkenalkanlah diri anda dan berikanlah penjelasan singkat tentang apa yang akan berlangsung selama pertemuan itu.
(b)     Sampaikan tujuan dari pertemuan ini. Sebagai contoh; anda bisa  berkata “pertemuan ini diadakan untuk mencoba menolong anda menghadapi berbagai pikiran dan reaksi yang mungkin anda rasakan, dan untuk memberikan informasi tentang bagaimana anda bisa membantu diri anda mengatasi berbagai masalah tersebut. Anda mungkin bisa juga mengatasi semua ini sendirian, tetapi kami menemukan bahwa orang-orang yang mengikuti pertemuan seperti ini bisa  tidur, makan, melakukan pekerjaan dan tanggungjawab rumah tangga dengan lebih baik ketimbang mereka yang tidak mengikutinya.”
(c)      Sampaikan tata-tertib atau garis besar aturan pertemuan ini.
Tunjukkan bahwa:
·           Tidak ada seorang pun yang diwajibkan bicara selama debriefing tetapi semua orang diundang untuk mengeluarkan pikirannya.  Partisipasi akan menolong meyakinkan dan mendukung seluruh anggota kelompok lainnya.
·           Pertemuan ini bersifat rahasia. Apa yang disampaikan harus dijaga kerahasiaannya oleh mereka yang hadir dalam kelompok tersebut.
·           Tidak akan ada jam istirahat (break) dalam proses debriefing, Jika ada peserta yang perlu kebelakang, silahkan melakukannya dan segera kembali masuk ke dalam kelompok.
·           Tidak ada orang yang berbicara mewakili orang lain.  Peserta hanya boleh menyampaikan pikiran, perasaan dan reaksi mereka pribadi.
o    Dalam proses debriefing semua orang diperlakukan sama sederajat.
o    Ini bukanlah waktu untuk saling melemparkan kesalahan.
o    Pertemuan ini bukan merupakan bagian dari penyidikan—ini ditujukan untuk keuntungan/kebaikan anggota kelompok.
o    Peserta harus merasa  bebas untuk menanyakan sesuatu.
(d)     Menemukan fakta
Kelilingilah lingkaran tersebut dan mintalah peserta menyebutkan nama dan di mana mereka pada saat insiden terjadi.  Ini akan membantu melakukan reka-ulang kejadian tersebut dan menyajikan fakta-fakta penting disekitar kejadian/ insiden ini.
(e)    Berbagi Pikiran
·         Mintalah peserta berbagi pikiran tentang apa yang telah mereka dengar dan lihat.  Mintalah mereka untuk membagikan apa yang pertama-tama muncul di benak  mereka.
·         Hargai, berikan penghiburan, dan lanjutkan kepada peserta berikutnya.
·         Jangan menyelidik.
(f)      Berbagi Reaksi
·         Mintalah agar peserta menggambarkan bagian mana yang paling buruk dari insiden yang mereka alami.
·         Jangan menggali/menyelidik kecuali untuk memperjelas maksud peserta.
(g)   Identifikasi Gejala
·         Mintalah agar peserta memeriksa diri sendiri apakah ada masalah fisik, emosi/ pikiran atau perilaku yang mereka rasakan (jika ada) dan menceritakannya kepada  kelompok sejauh yang mereka bisa.
·           Mintalah agar para peserta mengidentifikasi gejala yang mereka rasakan itu. Apa yang dirasakannya  tepat sesudah insiden terjadi, beberapa hari sesudahnya dan sekarang saat pertemuan ini berlangsung.
(h)     Berbagi Informasi
Berikanlah keyakinan bahwa apa yang dirasakan dan dialami peserta adalah normal bagi orang yang baru saja melewati peristiwa traumatik.  Pendamping bisa juga menyebutkan beberapa efek trauma lainnya yang tidak disebutkan oleh peserta.
Berikanlah informasi tentang apa yang bisa mereka lakukan untuk menangani  efek spesifik dari stress yang mereka alami.
(i)       Kesimpulan
·           Berikan kembali penghiburan anda bagi mereka, sekali lagi berikan kesempatan kepada peserta untuk menyampaikan reaksi atau pertanyaan atau apa saja yang belum sempat mereka sampaikan pada kesempatan pertama.
·           Anda bisa menyebutkan tentang  emosi yang anda rasakan ada dalam kelompok tersebut  tetapi belum terekspresikan oleh mereka.
·           Peserta mungkin ingin menyusun rencana kerja (action plan), rencana pencegahan (prevention plan) maupun ingin mendapatkan informasi tambahan lainnya.
·           Berikanlah dukungan dan tawarkanlah bimbingan dan informasi yang diperlukan.
(c)      Pertemuan Post-debriefing
Anda harus tetap siap untuk menolong jika ada peserta yang mungkin memerlukan pertolongan tambahan. Ciptakan suasana yang wajar  (normality) saat orang-orang meninggalkan pertemuan.
(d)     Pertemuan Para Pendamping
Semua  anggota tim bertemu untuk membahas proses debriefing yang telah dilakukan dan berbagai masalah yang memerlukan perhatian, serta topik atau isu yang muncul.
Disarankan anda menulis laporan mengenai pertemuan debriefing yang berlangsung.  Catat  jika ada komentar khusus yang menurut anda penting.  Jagalah agar ini tetap menjadi rahasia anda tetapi usahakan tetap  tersedia begitu anda diperlukan untuk memberikan pertemuan lanjutan (follow up).
                        Mengatasi Panik
Model ini efektif untuk penyintas karena gempa bumi atau tsunami. Seringkali paska terjadi bencana, anak-anak mudah terstimulasi oleh hal-hal kecil yang pada akhirnya membuat mereka panik. Misalnya anak-anak yang daerahnya baru saja terkena gempa bumi hebat, getaran kecil yang diakibatkan oleh mobil yang lewat dapat membuat mereka sangat panik, atau anak-anak yang daerahnya baru saja mengalami banjir, saat mendengar suara air gemericik dapat membuat mereka menjadi panik.  Pada saat terjadi kepanikan, batang otak/ brain stem berfungsi secara dominan, hal inilah yang membuat terjadi kepanikan. Untuk menolong anak-anak agar tetap tenang dan tidak panic maka diperlukan stimulasi terhadap neokoterks atau otak berpikirnya.
Stimulasi dilakukan dengan mengajak anak-anak berpikir dan menggerakkan tubuhnya:
(1)   Langkah-langkahnya
(a)    Orang dewasa/guru/pendamping harus tenang atau jangan panik
Latih anak-anak untuk menstimulasi neokorteksnya dengan mengatakan dan melakukan  sesuatu yang menenangkan
a.      Saya sedang mengalami rasa PANIK. Saya berkata pada diri saya
b.      Nama saya......    (sebutkan nama diri sendiri)
c.       Saya sedang di.....    (sebutkan lokasinya)
d.      Umur saya.....     (sebutkan umurnya)
e.       Sekarang hari.....      (sebutkan hari saat itu)
f.        Sekarang tanggal.....     (sebutkan tanggal saat itu)
g.      Tepuk tangan 10 kali, dan ucapkan satu hingga sepuluh
h.      Injak bumi 6 kali, dan ucapkan satu hingga enam
i.        Katakan :”saya tenang”
2.4.2   Stabilisasi Emosi
Stabilisasi Emosi merupakan metode penanganan yang dapat masuk dalam semua golongan masyarakat tanpa takut dibatasi adanya perbedaan budaya, Teknik ini dibutuhkan bagi semua orang yang tidak stabil emosinya akibat pengalaman negatif yang baru dialami maupun karena munculnya kecemasan menghadapi kejadian yang akan datang. Pendekatan ini dapat diaplikasikan pada klien yang mengalami kesulitan tidur, kehilangan konsentrasi, ketegangan, kecemasan, atau was-was, serta mengalami emosi negatif seperti takut, sedih, marah, kecewa, dan sebagainya secara terus menerus (Kemenkes RI, 2014).
1)      Tehnik Stabilisasi Emosi
Teknik pernafasan dalam merupakan cara yang paling mudah dan sederhana untuk menstabilkan emosi. Ada beberapa teknik yang dapat digunakan diantaranya :
1)      Napas perut dan menghitung napas  
Cara melakukan:
(1)   Bernapaslah seperti biasa, hitunglah tarikan napas anda dalam satu menit, kemudian catat atau ingat- ingat (biasanya klien melaporkan antara 10-25)
(2)   Sekarang bernafaslah secara perlahan dan dalam, usahakan mencapai 4-8  tarikan hembusan nafas permenit, bernafaslah dengan menarik nafas dan mengembungkan perut, kemudian tahan dalam tiga hitungan, setelah itu hembuskan perlahan hingga perut anda kempis kembali kemudian tahan lagi sampai tiga hitungan
(3)   Selanjutnya ulangi menarik nafas dalam dan perlahan dengan mengembungkan perut, bila sudah dirasa cukup tahan dalam tiga hitungan, kemudian hembuskan perlahan dengan mengempiskan perut, tahan dalam tiga hitungan dan tarik napas lagi. d). (lakukan beberapa kali sampai klien merasa lebih tenang)
(4)   Ingat, jumlah hitungan ketika menahan nafas harap disesuaikan dengan kemampuan masing-masing individu, jangan sampai anda merasa terpaksa tetapi lakukanlah semampunya, lama kelamaan hitungan ini akan bertambah dengan sendirinya.
2)      Sensing Finger Tips 

Cara melakukan
(1)   Saya akan mengajak anda untuk latihan menenangkan diri
(2)   Bernapaslah seperti biasa, pertemukan jari-jari tangan kiri dan tangan kanan anda. Ibu ibu jari. telunjuk dengan telunjuk dan seterusnya.
(3)   Kemudaian pejamkan mata anda, bernafaslah perlahan, lebih perlahan dan sangat perlahan
(4)   Setelah anda mencapai keaadaan lebih tenang, coba rasakan denjut nadi diujung-ujung jari. (Bila anda tidak segera dapat merasakannya tidak perlu khawatir, ssebagian orang memerlukan waktu lebih lama dari sebagian lainnya).
(5)   Setelah anda dapat merasakannya selanjutnya ada dapat mengatakan dalam hati kata-kata yang dapat menenangkan anda bersamaan dengan denjut nadi yang anda rasakan." Sabar sabar sabar atau "tenang ..........tenang ...........tenang" atau "saya bisa................... saya bisa ...........saya bisa" atau ucapan doa.
(6)   Kita kembali keruangan ini setelah anda rana cukup dan anda sudah merasa lebih tenang.
(7)   (Setelah beberapa kali latihan, anda bisa melakukannya dengan mata terbuka dan melakukan hal lain, misalnya ketika mendengarkan orang lain berbicara atau mendengarkan kuliah)
(Kemenkes RI, 2014)

2.5  Trauma Healing
2.5.1  Pengertian
Trauma merupakan terjadinya benturan antara fisik dan mental, semakin keras benturannya semakin besar efeknya.Healing merupakan upaya pemulihan perorangan atau kelompok pasca terjadinya trauma.
Trauma adalah istilah psikologis menunjukkan kondisi yang syok dan tertekan oleh suatu peristiwa yang membekas relative lama pada korban. Trauma healing adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk membantu orang lain untuk mengurangi bahkan menghilangkan gangguan psikologis yang sedang dialami yang dilakibatkan syok atau trauma.Trauma healing merupakan salah satu program yang berfungsi untuk mengembalikan mental seseorang atau kelompok, pasca bencana alam kepada masyarakat yang terkena bencana. (Poltekkes Kemenkes Bandung, 2015)
2.5.2  Manfaat trauma healing
Kegiatan trauma healing mempunyai banyak manfaat bagi masyarakat yang menjalani trauma healing ini. Berikut ini merupakan manfaat dari trauma healing :
1)      Menghilangkan beban di pikiran
2)      Membuat bahagia
3)      Menjadi pribadi yang lebih ikhlas
4)      Menjadi semangat kembali
5)      Membuat hati tenang dan tentram
6)      Lebih peka untuk menyikapi keadaan yang ada
(Poltekkes Kemenkes Bandung, 2015)
2.5.3  Kegiatan trauma healing
Dapat berupa terapi bermain, terapi aktivitas kelompok, SEFT (Spiritual Emotional Technique), tetapi memasak, relaksasi, dan lain-lain. Biasanya trauma healing dilakukan pada tahap 2 setelah bencana (pasca bencana), tepatnya setelah kegiatan TRC & Evakuasi.
1)      Terapi bermain
Fokus trauma healing adalah kepada anak-anak, karena kejadian bencana alam biasanya menyebabkan perubahan mental dan sikap, oleh karena itu tugas kita adlah menghilangkan rasa takut atas kejadian bencana yang mengerikan bagi anak-anak (Poltekkes Kemenkes Bandung, 2015).
Bermain adalah merupakan suatu aktifitas yang dilakukan dengan sukarela atas dasar rasa senang dan menumbuhkan aktifitas yang dilakukan secara spontan Terapi bermain merupakan salah satu kegiatan yang dapat dilakukan dimana saja, kapan saja, dan  dengan siapa saja, karena dari anak kecil sampai dewasa suka dengan yang namanya bermain. Permainan yang dapat dilakukan dalam terapi ini tergantung situasi dan kondisi yang ada. Contohnya ketika di suatu tempat bencana disana tidak ada apa-apa, kita sebagai mahasiswa juga tidak mempunyai perlengkapan yang cukup untuk melakukan suatu permainan yang besar, tapi semua itu tidak membatasi kita untuk melakukan terapi bermain ini, kita bisa menggunakan permainan klasik yang adik-adik di tenda penampungan biasa mainkan, kita harus bisa meyakinkan mereka untuk bangkit, untuk melakukan aktifitas seperti biasa, dan mensyukuri apa yang masih ada. Dengan terapi bermain ini, pelakunya mampu menghilangkan beban dihati, bisa tersenyum dan bahagia walaupun kondisinya saat ini lagi kurang beruntung.
2)      Terapi Aktifitas Kelompok TAK (Terapi Aktivitas Kelompok)
Salah satu terapi modalitas yang dilakukan oleh perawat kepada sekelompok klien yang mempunyai masalah keperawatan yang sama. Aktivitas digunakan sebagai terapi, dan kelompok digunakan sebagai target asuhan. Sehingga di dalam kelompok tersebut terjadi dinamika interaksi yang saling bergantung, saling membutuhkan dan menjadi laboratorium tempat klien berlatih perilaku baru yang adaptif untuk memperbaiki perilaku lama yang maladaptive (Keliat, 2005).
Terapi Aktifitas Kelompok ini dapat dilakukan dengan beberapa kegiatan seperti menggambar, mendengarkan musik, mendengarkan lagu dan lain-lain. Dalam terapi ini, masyarakat dibentuk dalam sebuah kelompok dan masing-masing kelompok terdapat sekitar sepuluh orang. Di dalam kelompok tersebut kita sebagai mahasiswa yang memimpin dan sebagai fasilitator.
3)      Self (spiritual emotional freedom technique)
SEFT merupakan pengembangan dari EFT dari Hale Downskin, dimana dalam teknik SEFT ditambahkan dengan sugesti spiritual kepada penyitas. Teknik ini mengkombinasikan teknik relaksasi-meditatif dan akunpuntur. Kegiatan SELF ini dilakukan sekitar 3-5 menit.
4)      Terapi Memasak Memasak
pada prinsipnya  adalah proses atau pemberian panas pada bahan makanan sehingga bahan itu menjadi mudah dicerna, aman dan lezat serta mengubah bentuk penyajian. Terapi memasak ini dilakukan oleh masyarakat dengan cara memasak secara bersama-sama sehingga ada interaksi artar individu, dan masing-masing individu tidak berlarut-larut dalam kesedihan mereka masing-masing. Pada terapi ini masyarakat saling berusaha membantu teman atau saudaranya dengan menyediakan masakan untuk dimakan bersama-sama.
5)      Relaksasi
Relaksasi adalah upaya menjadi rilaks, bukan hanya tubuh fisik, tetapi juga batin kita. Namun relaksasi bukanlah meditasi. Relaksasi adalah anak tangga menuju meditasi Relaksasi ini dapat dilakukan dengan tujuan untuk menenangkan diri, menyelaraskan apa yang ada pada diri individu, dan menghilangkan beban yang ada, sehingga lebih rilaks dan merasa nyaman.
6)      Berbagai teknik dapat berguna dalam mengurangi stres dan kecemasan menurut (Kharismawan, 2008).
a)      Istirahat dan rekreasi: Istirahat singkat yang berkualitas dari kegiatan sehari-hari dan tidur yang cukup penting, baik untuk pekerja bantuan dan penyintas. Mendorong semua para pekerja kemanusiaan untuk  mendapatkan tidur yang memadai dan hari untuk libur. Kegiatan rekreasi, mulai dari permainan kartu, adakan acara menonton televisi  atau film layar tancap bersama-sama, hal ini  akan memberikan kesehatan psikologis bagi penyintas maupun pekerja kemanusiaan yang membantu. Kegiatan rekreasi  berfungsi sebagai pengalih perhatian, yang mencegah mereka terus menerus berpikir tentang bencana.
b)      Ventilasi: Mengizinkan pekerja bantuan dan penyintas untuk berbicara tentang pengalaman  dan perasaan mereka, melalui defusing dan debrifing
c)      Olahraga: Aktivitas fisik membantu menghilangkan stres. Memberikan kesempatan bagi pekerja bantuan dan penyintas bencana untuk mendapatkan latihan: bermain sepakola, volley, jogging, ataupun menari bersama
d)     Relaksasi: Beberapa jenis latihan relaksasi dengan mudah dapat diadaptasi untuk digunakan dalam pengaturan bencana untuk membantu klien mengurangi kecemasan dan stres. Ini termasuk bernapas  latihan visualisasi, latihan relaksasi otot, dan kombinasi keduanya.
e)      Ekspresif: teknik ekspresif adalah media ventilasi perasaan, untuk menciptakan sebuah narasi baru tentang peristiwa mengerikan yang baru saja mereka alami, memulihkan rasa kontrol, mendapatkan dukungan dari rekan, dan  normalisasi gejala-gejala psikologis yang dialami. Contoh teknik ekspresif adalah menggambar, play back teater, pelepasan emosi, dan lain sebagainya.
2.5.4  Tahap Trauma Healing
1)      Kedekatan, para relawan harus berusaha lebih dekat sehingga terjadi hubungan emosional.
2)      Usahakan para korban merasa aman dan nyaman ketika berada di dekat kita
3)      Yang dibutuhkan selain fasilitas mereka butuh teman dan motivasi
(Poltekkes Kemenkes Bandung, 2015)
2.5.5  Target kegiatan trauma healing
1)        Anak-anak
2)        Ibu-ibu
3)        Relawan
2.5.6  Cara
1)      Berbaur bersama mereka selalu dengan memetakan kebutuhan dan intervensi
2)      Untuk anak-anak, pendekatan terhadap anak-anak dalam upaya untuk menguatkan mereka, cara yang paling ampuh adalah lewat permainan dan cerita.
3)      Intuk ibu-ibu,
Cara pendekatannya adalah dengan mengobrol/ mendengarkan cerita mereka, curahan hatinya sangat penting karena ketika ibu-ibu tersebut tegar dan kuat, maka akan terjadi efek multiplikasi terhadap anak dan suami.
4)      Untuk relawan
Paling penting karena mereka bias stress saat melakukan tugas relawan yang menguras tenaga dengan segala fasilitas yang terbatas (caranya pendekatnnya adalah sharing session dan hiburan diantara mereka)
5)      Libatkan warga untuk menjadi pembina trauma healing bagi lingkungannya
6)      Jangan lupa doakan mereka, doa juga merupakan bagian dari trauma healing.
(Poltekkes Kemenkes Bandung, 2015)
2.5.7  Syarat relawan trauma healing
1)      Relawan trauma healing harus mempunyai skill yang bisa memengaruhi dan bersinergi dengan masyarakat
2)      Pendengar setia
3)      Motivator
4)      Inovasi, dll.
(Poltekkes Kemenkes Bandung, 2015)



DAFTAR PUSTAKA


Dalami, E. (2009). Buku Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta: TIM.
Keliat, B. A. (2005). Keperawatan jiwa: Terapi aktivitas kelompok. EGC, Jakarta.
Kemenkes RI. (2014). Modul Keperawatan Bencana Dasar. Jakarta: Badan PPSDM Kesehatan.
Kementerian Kesehatan, R. (2011). Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana.
Khambali, I., & ST, M. (2017). Manajemen Penanggulangan Bencana. Penerbit Andi.
Kharismawan, K. (2008). Panduan program psikososial paska bencana. Semarang: Center For Trauma Recovery Unika Soegijapranata.
Mubarak, W. I. (2007). Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: EGC.
Poltekkes Kemenkes Bandung. (2015). Modul PPGD-B Nasional. Bandung.
Prabowo, E. (2014). Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.
Sobur, A. (2003). Psikologi umum dalam lintasan sejarah. Bandung: Pustaka Setia.
WHO, I. (2009). Kerangka Kerja ICN: kompetensi keperawatan bencana. Switzerland.
 

No comments:

Post a Comment

Respon Psikologis Pasca Bencana

2.1   Psikologis Bencana Bencana adalah peristiwa atau kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan kerusakan ekologi, kerug...